Jumat, 12 Desember 2008

Aksara Nusantara

Aksara Nusantara merupakan beragam aksara / tulisan yang pernah digunakan di Nusantara sebelum dikenalnya Aksara Arab dan Aksara Latin. Digunakannya aksara-aksara ini oleh leluhur Bangsa Indonesia dapat dirunut hingga sekitar abad ke-4, dengan ditemukannya prasasti-prasasti dan naskah peninggalan kerajaan-kerajaan terdahulu.

Aksara Nusantara adalah beragam aksara yang secara khusus dipergunakan di Nusantara atau muncul di daerah ini. Aksara-aksara Nusantara merupakan turunan dari Aksara Pallawa yang berkembang di India bagian selatan. Aksara Pallawa sendiri merupakan turunan dari Aksara Brahmi. Aksara Brahmi ini adalah cikal bakal semua aksara di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara ini berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar Abad IV.

Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, maka pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya Aksara Sunda Baku.

Aksara Nusantara Asli

Zaman Klasik :

  • Aksara Pallawa
  • Aksara Siddhamatrka
  • Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)

Zaman Pertengahan :

  • Aksara Buda
  • Aksara Sunda Kuna
  • Aksara Proto-Sumatera

Zaman Kolonial :

  • Aksara Batak (Surat Batak)
  • Aksara Rencong (Aksara Kerinci)
  • Aksara Lampung (Had Lappung)
  • Aksara Jawa (Aksara Jawa Baru / Hanacaraka)
  • Aksara Bali
  • Aksara Lontara (Aksara Bugis-Makassar)
  • Aksara Baybayin
  • Aksara Buhid
  • Aksara Hanuno’o
  • Aksara Tagbanwa

Zaman Modern :

  • Aksara Sunda Baku

Variasi

Seiring perubahan zaman, budaya, dan bahasa masyarakat penggunanya, suatu aksara dapat mengalami perubahan jumlah huruf, bentuk huruf maupun bunyinya, walaupun tetap saja dianggap sebagai bagian dari aksara induknya; atau dengan kata lain, tidak terpecah menjadi aksara baru. Demikianlah misalnya Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Arab sedikit berbeda dengan Aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Melayu, atau juga Aksara Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Latin sedikit berbeda dengan Aksara Latin yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Jerman. Dalam perjalanan sejarahnyapun Aksara Nusantara tidak luput dari kecenderungan untuk memunculkan variasi-variasi baru yang tetap mempertahankan kaidah inti aksara induknya.

Beberapa variasi Aksara Nusantara antara lain :

  • Variasi Aksara Kawi (Aksara Jawa Kuna)
    • Aksara Kayuwangi : Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk membundar miring. Disebut Aksara Kayuwangi karena variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari sebelum hingga setelah masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, Raja Mataram (855 - 885). Oleh para ahli epigrafi Indonesia, variasi ini dianggap sebagai jenis tulisan Kawi yang paling indah.
    • Aksara Kuadrat : Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang ditulis dengan bentuk huruf menyerupai kotak / bujursangkar. Dari situlah variasi ini memperoleh namanya. Variasi ini banyak dijumpai pada prasasti dari masa Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.
    • Aksara Majapahit : Aksara ini merupakan Aksara Kawi yang tiap hurufnya ditulis dengan banyak hiasan sehingga kadang kala sulit dikenali / sulit dibaca. Disebut Aksara Majapahit karena variasi ini banyak dijumpai dari masa Kerajaan Majapahit.
  • Variasi Aksara Batak
    • Aksara Toba : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Toba.
    • Aksara Karo : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Karo.
    • Aksara Dairi : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Dairi.
    • Aksara Simalungun : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Simalungun.
    • Aksara Mandailing : Variasi ini merupakan Aksara Batak yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Mandailing.
  • Variasi Aksara Jawa
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Baru.
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa Kuna.
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Banten.
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Jawa dialek Cirebon.
    • Aksara Jawa untuk menuliskan Bahasa Sunda / Aksara Sunda Cacarakan.
  • Variasi Aksara Bali
    • Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Baru.
    • Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Bali Kuna.
    • Aksara Bali untuk menuliskan Bahasa Sasak.
  • Variasi Aksara Lontara
    • Aksara Bugis : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Bugis.
    • Aksara Makassar : Variasi ini merupakan Aksara Lontara yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Makassar.
Berkas:Silsilah_AN.jpg
Silsilah Aksara Nusantara "Asli"

Aksara Lainnya

  • Huruf Arab
    • Huruf Jawi
    • Pegon
  • Abjad Latin
    • Ejaan Van Ophuijsen
    • Ejaan Soewandi
    • EYD

Senin, 01 Desember 2008

Bahasa Simalungun

Bahasa Simalungun atau sahap Simalungun (dalam bahasa Simalungun) adalah bahasa yang digunakan oleh suku Simalungun yang mendiami Kabupaten Simalungun, Serdang Bedagai, Deli Serdang, Dairi, Medan, hingga ke Tapanuli di Indonesia.

Penelitian P. Voorhoeve (seorang ahli bahasa Belanda, pernah menjabat sebagai taalambtenaar Simalungun tahun 1937) menyatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bagian dari rumpun Austronesia yang lebih dekat dengan bahasa Sansekerta yang mempengaruhi banyak bahasa daerah lain di Indonesia.

Kedekatan ini ditunjukkan dengan huruf penutup suku mati:

1. "Uy" dalam kata babuy dan apuy.
2. "G" dalam kata dolog.
3. "B" dalam kata abab.
4. "D" dalam kata bagod.
5. "Ah" dalam kata babah atau sabah.
6. "Ei" dalam kata simbei.
7. "Ou" dalam kata lopou atau sopou.

Pandangan umum mengkategorikan Bahasa Simalungun sebagai bagian dari Bahasa Batak, namun Uli Kozok (filolog) mengatakan bahwa secara sejarah bahasa ini merupakan cabang dari rumpun selatan yang berbeda/terpisah dari bahasa-bahasa Batak Selatan sebelum terbentuknya bahasa Toba atau Mandailing.[3]. Beberapa kata dalam Bahasa Simalungun memang memiliki persamaan dengan bahasa Toba atau Karo yang ada di sekitar wilayah tinggalnya suku Simalungun, namun Pdt. Djaulung Wismar Saragih menerangkan bahwa ada banyak kata yang penulisannya sama dalam bahasa Simalungun dan Toba namun memiliki makna yang berlainan.[4]

Dialek dan Ragam Bahasa

Henry Guntur Tarigan membedakan dialek bahasa Simalungun ke dalam 4 macam dialek:[5]

1. Silimakuta.
2. Raya.
3. Topi Pasir (Horisan).
4. Jahe-jahe (pesisir pantai timur).

Rabu, 12 November 2008

Gunung Sinabung













Gambar : Gunung Sinabung dari brastagi

Gunung Sinabung adalah nama sebuah gunung di dataran tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Sinabung bersama Sibayak di dekatnya adalah 2 gunung berapi aktif di Sumatera Utara. Dengan ketinggian 2.460 meter, gunung ini menjadi puncak tertinggi di Sumatera Utara.

Koordinat puncak gunung Sinabung adalah 3 derajat 10 menit LU, 98 derajat 23 menit BT.

Sabtu, 08 November 2008

Tokoh Kunci Langgengnya Suku Tengger

Diposkan oleh Putri Biru / Dewi Biru

Hulun Yang dan tanah sekitarnya disebut sebagai Hila-hila. Huku Yang diartikan sebagai masyarakat Tengger, sedangkan Hila-hila adalah tanah suci. Kepercayaan yang sudah dianut sejak abad ke-10 itulah yang mendasari masyarakat Tengger menjalankan sekian banyak ritual dalam kehidupan mereka. Dalam satu tahun, mereka melakukan enam kali pujaan besar, yaitu :

1. Pujan Karo (Bulan Karo), diawalai tanggal 15 Kalender saka Tengger, disamping berupacara masyarakat Tengger juga melakukan anjang sana (silaturahmi) kepada semua sanak masyarakat Tengger. Uniknya tiap berkunjung harus menikmati hidangan yang diberikan oleh tuan rumahnya.

2.Pujan Kapat (Bulan Keempat) tanggal 4, dilakukan bersama-sama di setiap desa (rumah kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa, dukun, dan masyarakat desa.

3.Pujan Kapitu (Bulan Tujuh), semua pini sepuh desa dan keharusan pandita dukun melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan pati geni (Nyepi) satu hari satu malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya diisi puasa mutih (tidak makan makanan yang enak-enak), biasanya hanya memakan nasi jagung dan daun-daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai ditutup satu hari dengan pati geni.

4. Pujan Kawolu (Bulan Delapan) tanggal 1 dilakukan bersama-sama dirumah kepala desa.

5. Pujan Kasangan (Bulan Sembilan) tanggal 24 setelah purnama masyarakat bersama anak-anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.

6. Kasada (Bulan Dua Belas) tanggal 15 dan 14, dilakukan di Ponten Pure Luhur, semmua masyarakat Tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak hanya mesyarakat Tengger yang beragama hindu saja, tetapi juga semua masyarakat Tengger yang beragama lain. Setelah upacara, melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah dimantrai dukun ke kawah Gunung Bromo. Tidak hanya upacara saja tetapi juga bermusyawarah dan bersilaturahmi para dukun dan masyarakat Tengger.

Ada juga upacara yang dilakukan tiap lima tahun, yaitu upacara Unan-unan. Unan-unan adalah tahun panjang (seperti tahun kabisat) melakukan upacara ngrawut jagad, mensucikan hal-hal yang tidak baik dengan mengorbankan karbau. Unan yaitu mengarungi bulan.

Upacara yang dilakukan secara individu :
1. Upacara Tujuh Bulanan (Sayut) dipimpin oleh pandita dukun.

2. Upacara lindungi anak, anak yang menginjak masa remaja.

3. Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan Tugel Kuncung (perempuan), memotong sedikit rambut sekitar pusar rambut anak-anak yang menginjak umur 5 tahun (akan masuk sekolah). Upacara ini tidak wajib, jika keturunan pertama melaksanakan upacara ini dan sebaliknya jika keturunan pertama tidak melaksanakan, keturunan selanjutnya pun tidak diwajibkan untuk melaksanakan.

4. Upacara ngruwat, jika ada saudara 2 laki-laki atau salah satu anak laki-laki dan perempuan atau anak tunggal.

5. Upacara Kawihan (kimpoi), upacara ini seperti halnya ijab kobul.

6. Upacara Walagara (Temu Manten)

7. Upacara mendirikan rumah.

8. Upacara Kematian, minimal 4 hari setelah meninggalnya dilakukan upacara untas-untas (roh orang meninggal diharapkan kembali pada pemiliknya)

Sebagai sebuah masayarakat yang lekat dengan segala ritual, Tengger menempatkan sosok yang sangat terhormat dan disegani. Mereka bahkan lebih memilih tidak memiliki kepala pemerintahan desa daripada tidak memiliki pemimpin ritual. Jumlah dukun pada masyarakat Tengger ada 42 di setiap desa yang mengelilingi pegunungan Semeru dan Bromo tersebar di Lumajang, Probolinggo, Pasuruan dan Malang. Para dukun Pandita, pemimpin ritual itu, tidak bisa dijabat sembarang orang. Sekian banyak persyaratan harus dipenuhi untuk menjadi perantara masyarakat Tengger dengan Hyang Widhi Wasa, Sang Penguasa Jagad. Juga kepada Sang Hyang Brahma yang bersemayam di Gunung Bromo, kepada roh para leluhur, dan Buta Kala.

Pak dukun, demikian mereka dipanggil, bertugas menjadi penglantar (perantara) doa-doa masyarakatnya kepada Sang Pencipta. Masyarakat Tengger masih identik dengan agama Hindu, meskipun secara tata cara berbeda dengan agama Hindu yang ada di Bali. ”Sebagai Penglantar, kami dipercaya bisa membuat permohonan itu dikabulkan,: Ujar dukun desa Ngadasari, Sutomo (45).

Disitulah beratnya tugas sang dukun. Ada berbagai macam permintaan warganya, meskipun tidak pernah ada yang aneh-aneh, menunggu untuk diantarkan. Sering mereka harus mendatangi masing-masing rumah untuk keperluan mengantarkan doa tersebut. ”Apalagi pada bulan karo (Hari raya terbesar masyarakat Tengger), saya harus melayani pujian di setiap rumah, yang jumlahnya mencapai 500 keluarg,” kata Sutomo. Ia bisa memulainya pada pukul 02.00 dinihari dan baru pulang pukul 15.00 maka, seorang dukun harus sehat lahir batin untuk menjalankan tufas yang cukup berat, yang harus dilakukan seumur hidupnya.

Pemilihan dukun pandita awalnya hasil bermusyawarah dai kepala desa, tokoh masyarakat dan para sesepuh desa. Criteria dukun pandita adalah jujur, dapat bermasyarakat dengan baik, factor keturunan, dan pantang mo-limo. Sebelum mulai menjalankan tugasnya, para dukun Tengger harus memulai serangkaian ujian. Biasanya dilakukan bersamaan dengan puncak perayaan Kasada. Dukun pandita diuji dengan cara harus dapat membaca mantra dengan lancar. Seorang dukun pandita harus dapat menghafalkan upacara yang disebut mulunen itu merupakan sat dimana para dukun baru mengucapkan mantera panjang tanpa terputus sebagai syarat ujian mereka. Setelah mantra tersebut dihafalkan dengan benar, segera ketua dukun bertanya pada dukun-dukun lainnya, ”Sah?.. sah?” dan segera terdengar jawaban panjang, ”Saaaaaahh....” dan luluslah dukun baru itu. Meskipun sudah disahkan, tidak serta merta mereka bis alangsung menjalankan tugas. Mereka harus melalui upacara resik atau berkenalan dengan yang mbaurekso (penunggu) desa, juga pejabat formal dan informal. ”Resik disini artinya membersihkan jiwa dan raga. Jika sudah resik, barulah dukun boleh menjalankan tugasnya.” Kata Sutomo.

Satu lagi kewajiban berat dukun adalah menghafalkan puluhan mantra. Dukun Tengger dan mantra memang tidak bisa dipisahkan. Hidupnya adalah untuk membaca mantra dalam berbagai pujian. Mereka selalu dimintai mantra oleh para penduduk yang mempunyai suatu keinginan tertentu. Jumlah mantra yang harus dihafalkan oleh dukun mencapai 90 bab yang kebanyakan panjang dalam bahasa kawi (Jawa kuno). ”Semua mantra itu bersifat baik, tidak ada satupun mantra yang bersifat buruk seperti untuk penglarisan, tenung atau mengganggu orang lain. Semua mantra merupakan doa keselamatan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.” Tambah Sutomo. Diiringi wangi dupa dari Prapen (Tempat dupa dibakar), percikan air dari Prapen (tempat air suci diletakkan) doa dan mantra melambung ke alam semesta.

Pada upacara entas-entas atau pengruwatan, seorang dukun harus membaca mantra selama satu jam tanpa jeda. Mantra sepanjang itu harus dihafalkan diluar kepala, tidak boleh membaca catatan. Sutomo bangun setiap pukul 03.00 ketika pikirannya masih segar untuk menghafalkan mantra-mantra itu. Dalam masyarakat tradisional, sosok seorang pemimpin spiritual semacam dukun lebih disegani daripada pemimpin administrasi (pemerintah). Mereka mempunyai hukum masyarakat sendiri, di luar hukum formal yang berlaku dalam negara. Dengan hukum itu mereka sudah bisa mengatur dan mengendalikan berbagai persoalan dalam kehidupan kemasyarakatan mereka. Hampir sama dengan yang terjadi di Madura, bahwa sosok kiai memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya. Mereka akan lebih didengarkan daripada kepala desanya. Apa yang dikatakan kiai, itulah yang dituruti. Tampaknya dalam masyarakat Tengger pun terjadi hal demikian. Dukun dalam masyarakat Tengger tidak sama dengan dukun dalam masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan hal-hal supranatural.
Dukun di Tengger lebih dekat dengan masalah agama dan kepercayaan, bukan hal-hal supranatural. Agama yan g berlaku di Tengger, diistilahkan Pudjio sebagai agama tradisional. Memang kabur konepnya. Maka, ketika harus memilih kecenderungan di antara lima agama yang berlaku di Negara ini, mereka lebih dekat dengan agama Hindu. Maka mereka menyebut dukun sebagai dukun pandita. Seiring dengan banyaknya pengaruh yang masuk ke dalam masyarakat tradisional seperti Tengger melalui pariwisata atau teknologi komunikasi, terjadi cultural change, perubahan kebudayaan.

Jumat, 07 November 2008

Ritual Adat Unan-unan

Masyarakat suku Tengger yang mendiami kawasan Gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur memiliki tradisi unik untuk mengusir makhluk halus sekaligus untuk menyelamatkan desa mereka dari malapetaka.

Ritual yang digelar setiap 5 tahun sekali ini dikenal dengan ritual Unan - Unan yang berarti penyempurnaan kekurangan atau perbuatan yang telah merugikan kehidupan.

Ritual Unan - Unan diawali dengan mengarak sesaji berupa kepala kerbau dari Balai Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo menuju sanggar pemujaan ditempat pendiri desa (punden). Seluruh tokoh agama, tokoh desa dan warga suku Tengger berpakaian adat ikut serta dalam arak - arakan dengan diiringi gamelan Jawa dan tarian Reog.

Doa - doa dan mantra dibacakan sepanjang perjalanan menuju sanggar pemujaan. Cara ini dilakukan agar seluruh makhluk halus tidak mengganggu sepanjang ritual berlangsung. Setibanya disanggar pemujaan dukun dan para tokoh adat mengambil tempat untuk melakukan sembahyangan dan memantrai air suci.

Air suci itulah yang kemudian ditabur kepada seluruh peserta upacara adat, sebagai simbol pengusiran kesilauan hidup.

"Tradisi ini dilakukan untuk meminta keselamatan dan dijauhkan dari mara bahaya serta minta diberikan rejeki didalam melakukan aktifitas pertanian, khususnya di desa Tengger, Desa Ngadisari ini untuk kedepannya" ujar Supoyo, Kepala Desa Ngadisari.

Bagi warga suku Tengger, ritual Unan - Unan ini sangat penting karena menyangkut keselamatan jiwa bumi dan seluruh makhluk di bumi ini. Mereka berharap setelah ritual Unan - Unan akan terwujud kehidupan yang lebih baik.

Selain untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus, ritual Unan - Unan juga bertujuan menyempurnakan para arwah yang belum sempurna untuk kembali ke alam asalnya.

Ritual ini juga menandai penggantian kalender bagi suku Tengger di Gunung Bromo. Unan - Unan berasal dari kata tuna (rugi). Dengan ritual Unan - Unan ini diharapkan kekurangan - kekurangan selama tahun - tahun sebelumnya bisa disempurnakan. Ritual Unan - Unan biasanya dilaksanakan serentak di lima desa disekitar lereng Bromo, yaitu Desa Ngadisari, Jetak, Wonokriti, Wonokerso dan Sukapura. (dari berbagai sumber)

Kamis, 06 November 2008

Ada Candi di Lereng Bromo

Andai saja laporan Soekarno tidak ”terselip” di rimba birokrasi, keberadaan Candi Sanggar di lereng Gunung Bromo, tepatnya di Dusun Wonogriyo, Desa Pusungmalang, Kecamatan Puspo, Pasuruan, Jawa Timur, seharusnya sudah terkuak sejak 20 tahun lalu.

Kini, keinginan Soekarno untuk menyelamatkan candi tersebut sudah terpenuhi. Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta telah mengirim satu tim yang diketuai oleh Dra TM Rita Istari dan melibatkan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, 20 Juni-1 Juli 2005.

Penelitian yang dilakukan tim Balar Yogyakarta memang bermula dari kepedulian Soekarno, guru SD Bulukambang, Kecamatan Lumbang, Pasuruan. Dia prihatin dengan adanya tinggalan berupa runtuhan batu-batu candi, arca-arca, pecahan-pecahan gerabah dan keramik di suatu lokasi di atas bukit di lereng Gunung Bromo.

Sebenarnya, Soekarno sudah melaporkan situs yang berada di tengah hutan dan ladang penduduk tersebut sejak 1985. Laporan itu ia tembuskan ke berbagai instansi terkait di sana. Namun, entah mengapa laporan itu tidak mendapat tanggapan, hingga akhirnya (2004) laporan tulisan tangan Soekarno sampai di Balar Yogyakarta.

Tim dari Balar Yogyakarta yang mendatangi tempat tersebut memang menemukan bahwa di lokasi berketinggian 1.340 meter dari atas permukaan laut itu pernah berdiri bangunan candi. Hanya saja, temuan- temuan arca yang sebelumnya dilaporkan keberadaannya sudah lama dicuri atau dibuang orang. Penduduk menyebut situs ini sebagai punden atau Candi Sanggar. Sanggar merujuk pada sebuah tempat untuk pemujaan.

Kepala Balar Yogyakarta Harry Widianto mengungkapkan, temuan tersebut menjadi istimewa karena hingga kini masih merupakan satu-satunya candi yang ditemukan di lereng Gunung Bromo. Berbeda dengan lereng-lereng di Gunung Penanggungan, Gunung Semeru, dan Gunung Arjuna yang sudah banyak ditemukan candi-candi besar maupun kecil.

Hasil penggalian tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta menunjukkan, situs Candi Sanggar ini terdiri atas tiga bagian: bagian terendah, tengah, dan atas. Arah hadap candi ke Gunung Bromo. Di bagian terendah terdapat lempengan-lempengan batu pipih semacam lantai halaman. Di bagian tengah ditemukan sebuah angka tahun, tulisan dan huruf Jawa kuno terpahat pada salah satu sisi batuan candi berukuran 72 x 74 cm.

Ditemukan pula temuan in-situ yang masih terletak di dalam tanah lebih kurang sedalam 40 cm, dan terbaca angka 1267 Saka atau 1345 Masehi. Di permukaan tanah di sekitar lokasi candi ditemukan pula sebuah angka tahun terpahat pada salah satu sisi umpak batu setinggi 30 cm dan dapat dibaca angka 1431 Saka atau 1509 Masehi.

Dari dua angka tahun yang ditemukan, diduga candi tersebut dibangun antara abad XIV dan abad XVI, yaitu pada masa pemerintahan Raja Majapahit yang bernama Tribhuwana Wijayottunggadewi (1328-1350) dan pada masa pemerintahan Raja Majapahit terakhir, yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (1474-1519). (INE)
http://www2.kompas..com/kompas-cetak/...ra/1938173.htm

Rabu, 05 November 2008

Dialek suku tengger

Bahasa Tengger dituturkan di daerah Gunung Bromo yang termasuk wilayah Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang.

Di Pasuruan, cara Tengger ditemukan di kecamatan Tosari, lalu di Probolinggo, daerah kecamatan Sukapura, sedangkan Malang, cara Tengger dituturkan di wilayah desa Ngadas, kecamatan Poncokusumo. Yang terakhir, di Lumajang dituturkan di wilayah Ranupane, kecamatan Senduro.

Dialek ini dianggap turunan basa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern.

Contoh :

* reang: aku, jika yang berbicara lelaki
* isun : aku, jika yang berbicara perempuan

Apabila abjad a dalam bahasa Jawa modern dibaca O, di Tengger dibaca A.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dialek_Tengger

Selasa, 04 November 2008

Legenda Ajisaka: Resistensi Gaya Tengger

Masyarakat Suku Tengger merupakan salah satu masyarakat yang hidup di pegunungan Bromo di Kawasan Probolinggo – Pasuruan – Lumajang - Malang. Konon asal mula cerita masyarakat Tengger terbentuk dari pelarian prajurit dan penduduk Majapahit ketika suatu ketika kerajaan tersebut diserang oleh Demak. Untuk mempertahankan diri jalan satu-satunya bagi mereka adalah melarikan diri, dan sampailah mereka di pegunungan Tengger.

Perjalanan selanjutnya, sebagai suku pelarian dan membentuk suatu masyarakat dengan berbagai pranata sosialnya mereka memiliki berbagai karakteristik sosial, budaya, politik dan agama. Berbagai aspek karakteristik tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memiliki keterkaitan dengan politik dan sosial dan demikian pula sebaliknya.

Namun demikian mainstream besar yang menjadi bahan perbincangan menarik dalam hal ini adalah soal bagaimana masyarakat Tengger melakukan resitensi atas berbagai “serangan” dari kebudayaan lain. Sebagai suku yang memiliki kebudayaan cukup unik, mereka merasakan memiliki sesuatu warisan budaya yang harus dipertahankan.

Orang Tengger memiliki petunjuk yang mengarah kepada keharminisan dan kelestarian dalam persaudaraan, seperti yang terdapat dalam sesanti pancasetia (lima petunjuk kesetiaan), yakni setya budaya (taat dan hormat kepada adat), setya wacana (kata harus sesuai dengan perbuatan), setya semaya (selalu menepati janji), setya laksana (bertanggungjawab terhadap tugas) dan setya mitra (selalu membangun kesetiakawanan). Dengan kata lain orang memiliki bekala-bekal hidup untuk menjadi diri mereka sendiri.

Untuk mencapai kesejahteraan hidup, orang Tengger wajib menjauhi malima: maling (mencuri), main (main judi), madat (menghisap candu), minum (mabuk karena minuman keras), madon (main perempuan); sekaligus wajib menjaga walima: waras (sehat jasmani dan rohani), wareg (cukup makan), wastra (cukup sandang), wasis (cukup ilmu pengetahuan) dan wisma (memiliki tempat tinggal yang layak).

Dalam hal ini legenda Ajisaka adalah cerita rakyat Tengger sebagai salah satu bentuk resistensi tersebut.

Artikel yang pernah ditulis oleh Dr. Bisry Effendy, Direktur Lembaga Kebudayaan Desantara dan peneliti dari LIPI ini menyangkut bagaimana masyarakat Tengger melakukan resistensi dengan menciptakan legenda Ajisaka.

Konon cerita hidup sepasang suami istri di pegunungan Tengger, Kyai dan Nyai Kures. Mereka hidup miskin dan pekerjaan utamanya adalah mencari kayu bakar. Ia memiliki anak bernama Dursila yang bertabiat buruk.

Suatu hari Kyai Kures bertemu dengan ular besar bernama Antaboga. Kyai Kures dililit tapi lalu dilepaskan ular tersebut dengan perjanjian Kyai Kures mau menyerahkan 2 kaleng susu setiap hari pada Antaboga. Karena sering merasa kesulitan akhirnya Antaboga bersikap iba dan justru memberikan emas yang sangat banyak yang dimuntahkan dari mulutnya. Seketika Kyai Kures kaya mendadak, dan hal itu membuat anaknya si Dursila iri hati. Diam-diam Dursila menemui Antaboga dan memaksa agar Antaboga memuntahkan emas. Antaboga tidak suka dipaksa, ia marah dan menelan Dursila hidup-hidup.

Antaboga menghibur Kyai Kures agar tidak bersedih dengan kematian Dursila, terutama karena ia akan memiliki anak kagi yang lebih elok. Dan betul tak lama kemudian ia memiliki putra yang sangat ganteng, yang bernama Ajisaka. Atas saran Antaboga agar Kyai Kures menghantarkan Ajisaka berguru kepada Nabi Muhammad di Mekkah. Di Mekkah Kyai Kures bertemu dengan Sayyidina Ali, Abu Bakar, Utsman dan sahabat-sahabat nabi lainnya.

Setelah selesai menimba ilmu kepada nabi Muhammad, Ajisaka lalu pulang. Nabi memberikan oleh-oleh berupa lontar dan alat tulis. Tetapi salah satu hadiah Nabi itu (lontar) ketinggalan di Mekkah, dan Ajisaka baru ingat ketika sudah sampai di Tengger. Maka Ajisaka mengutus abdinya bernama Ana untuk mengambil tanda mata tersebut. Di sisi lain Nabi pun mengutus pembantunya Alif untuk mengantarkan lontar tersebut. Sesampai di tengah jalan kedua abdi bertemu. Karena keduanya saling berebut, akibatnya kedua dari mereka meninggal dunia.

Ketika Ajisaka mendengar kabar tersebut, ia lalu bersajak, “Ana Caraka Data Sawala Pada Jayanya Maga Batanga”. Sajak tersebut sampai sekarang menjadi abjad Jawa. Orang-orang Tengger memperingati kematian kedua cantrik tersebut dengan upacara Karo. Sampai sekarang.[1]

Makna Legenda Ajisaka

Legenda Ajisaka sangat terkenal di masyarakat Jawa dan terutama masyarakat Tengger. Cerita tersebut cukup kontroversial didengar, dan bisa menjebak kita untuk menafsirkan bermacam-macam soal. Karena itu banyak yang meragukan kisah tersebut berasal dari leluhur orang Tengger. Karena itulah Tengger amat menarik perhatian para peneliti. Cukup banyak penelitian dilakukan di Tengger, sepeti Meinsma (1879), Hefner (1985), Sutarto (1997).

Singkat kata, cerita tersebut memang cukup merepresentasikan bahwa masyarakat Tengger amatlah problematik. Tidak sesederhana yang kita lihat. Ada banyak intrik politik, intervensi mainstream asing, pola resistensi dan berbagai kejadian yang menarik perhatian. Misalnya pembantaian massal tahun 1965 yang mengambinghitamkan masyarakat Tengger sebagai antek komunis.

Dalam kaitannya dengan mata kuliah yang sedang kita ikuti ini, dinamika masyarakat Tengger berkaitan dengan Legenda Ajisaka tersebut bisa menunjukkan pada kita akan perubahan sosial dari suatu pranata sosial. Misalnya berbagai kearifan lokal masyarakat Tengger yang sekarang sudah mulai hilang sedikit demi sedikit karena tertelan arus perubahan zaman.

Perubahan Pranata Sosial Masyarakat Tengger

Dari Legenda Ajisaka kita bisa memetik beberapa perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Tengger dewasa ini, mulai dari pertarungan antara mainstream besar sampai upaya resistensinya sendiri.1. Dari segi keagamaan masih tidak jelas posisi agama yang dianut masyarakat Tengger, apakah mengikuti agama Hindu, atau Islam. Karena agama Tengger tidak termaktub dalam kamus resmi agama-agama di Indonesia, maka masyarakat Tengger lalu menjadi obyek rebutan agama-agama resmi. Misalnya pemaksaan nama agama dalam KTP, pencatatan data statistik dan seterusnya. Agama animismenya sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat sudah melihat perubahan sosial melalui televisi dan media massa lainnya.2. Dari segi sosial, beberapa pranata, seperti upacara-upcara adat sudah mulai ditinggalkan oleh generasi penerusnya. Mereka yang masih memelihara adat tersebut hanya sedikit, itupun dari kalangan tua. Mereka yang muda dan berpendidikan umumnya sudah menilai warisan leluhur kurang penting. Kaum muda cenderung ahistoris.3. Dari segi struktur sosial, masyarakat Tengger tampaknya sering terganggu dengan aturan-aturan formal pemerintah seperti dalam UU Pemerintah Desa yang harus ada “ini” dan “itu”. Karena itulah kendati struktur sosial di mana masyarakat Tengger dipimpin oleh dukun turun temurun yang dibuktikan dengan keahliannya melindungi masyarakat sudah kurang diperhatikan. 4. Dari segi ekonomi, terdapat peningkatan yang cukup signifikan bukan hanya karena di daerah Tengger terdapat kawasan wisata Gunung Bromo, melainkann juga karena produktivitas yang meningkat dalam pertaniannya, serta adanya usaha-usaha lain. Di kalangan masyarakat kita terdapat asumsi kuat bahwa mereka adalah masyarakat yang cukup berada.5. Dari segi budaya dan adat terdapat pergeseran menuju hal-hal yang lebih komersial (generasi muda) di tengah upaya sebagian kecil generasi tua untuk terus melestarikan warisan leluhurnya.

***

HEFNER (1990) menyatakan segi-segi masyarakat Tengger yang damai, sejahtera tanpa adanya konflik. Namun penelitian Hefner 20 tahun yang lalu saat ini sudah kurang relevan mengingat perubahan yang sangat drastis dialami oleh penduduk Tengger.

Proses hinduisasi oleh Parisada Hindu Dharma atau islamisasi oleh kelompok-kelompok tertentu, serta pembantaian yang dilakukan rezim kepada warga Tengger yang dikomuniskan merupakan unsur-unsur dendam yang bisa meledak kapanpun. Kaum elit Tengger, dalam berbagai penelitian, menyatakan bahwa mereka tidak beragama Hindu, begitu pula cukup repot menghadapi proses islamisasi kelompok tertentu. Begitu pula proses budhaisasi yang memasukkan secara “paksa” orang-orang Tengger menjadi penganut Budha Mahayana melalui SK No. 00/PHB Jatim/Kept/III/73. Akibatnya tradisi lokal masyarakat Tengger semakin lama semakin tercerabut dan hanyan menjadi cerita sejarah saja. RujukanEffendy, Bisry. 2003. Legenda Ajisaka: Resistensi Gaya Tengger. Majalah Ngaji Budaya, Desantara dan PUSPeK Averroes.Hefner, W. Robert. 1990. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKiS.Sutarto, Ayu. 1997. Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang. Disertasi. * Review, ditulis dan disadur oleh Saiful Arif, Freelance, di Malang


[1] Untuk nama Alif dan Ana, ada yang bercerita Seco dan Setuhu. Sedangkan upacara Karo adalah upacara besar masyarakat Tengger selain Kasodo. Yang pertama lebih pada komunitas Islam dan berikutnya lebih pada komunitas masyarakat Tengger.

Senin, 03 November 2008

Suku Gayo

Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Suku Gayo mendiami tiga kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Suku Gayo juga mendiami beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara , Kabupaten Aceh Tamiang , Kecamatan Beutong Kabupaten Nagan Raya dan di Kecamatan Serba Jadi di Kabupaten Aceh Timur.

Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.

Bahasa

Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Lut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, dialek Blang Di Kabupaten Gayo Lues, Kalul di Kabupaten Aceh Tamiang, dan lokop di Kecamatan Serba Jadi Kabupaten Aceh Timur. Selengkapnya

Kepercayaan

Suku Gayo beragama Islam,tetapi masih ada yang percaya terhadap praktek perdukunan.

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani dan berkebun dengan hasil utamanya kopi. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kerajinan lain yang cukup mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang Gayo, dengan motif yang khas.

Kerajaan Lingga

Kerajaan Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di [Karo]] dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

DINASTI LINGGA

1. Adi Genali Raja Lingga I di Gayo

  • Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
  • Raja Meurah Johan(pendiri Kesultanan Lamuri)
  • Meurah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan

2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo 3. Raja Lingga III-XII di Gayo 4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era 1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda) 2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Kabupaten

Tiga Kabupaten Utama Mayoritas Suku Gayo
1. Kabupaten Aceh Tengah
2. Kabupaten Bener Meriah
3. Kabupaten Gayo Lues

Sistem pemerintahan

Rumah Adat Gayo Pitu Ruang

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari :

  • Reje
  • Petue
  • Imem
  • Rayat

Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.

Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap).

Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan matapencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat matapencaharian yang rumit. Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini matapencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.

Tarian

  • Tari Saman
  • Tari Didong
  • Tari Bines
  • Tari Guel
  • Tari Munalu
  • Tari Turun Ku Aih Aunen

Seni Budaya

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu,sebuku(pepongoten),guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masam, Karna Orang Gayo kaya akan seni budaya.

Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (munentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacum oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

source :wikipedia.org

Minggu, 02 November 2008

Upacara Adat suku tengger

Disamping pemandangan alam yang indah Gn.Bromo juga memiliki daya tarik yang luar biasa karena tradisi masyarakat tengger yang tetap berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Upacara Kasada terkenal hingga manca negara dan selalu ramai di hadiri turis luar negeri maupun lokal. Suku Tengger berjumlah sekitar 40 ribu (1985) tinggal di lereng G.Semeru dan di sekitar kaldera Tengger. Mereka sangat dihormati karena mereka hidup jujur, tidak iri hati, dan tidak suka bertengkar. Masyarakat Tengger adalah keturunan Roro Anteng (putri raja Majapahit) dan Joko Seger (putera seorang brahmana).
Mereka sangat menjunjung tinggi persamaan, demokrasi, dan kehidupan bermasyarakat. Bahasa daerah yang digunakan Masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Jawa Tengger, yakni bahasa Jawa Kuno. Mereka tidak menggunakan tingkatan bahasa, berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai pada umumnya memiliki beberapa tingkatan.

Tengger dikenal sebagai tanah hila-hila (suci) sejak jaman Majapahit, para penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang keagamaan dari Sang Hyang Widi Wasa. Hingga kini Masyarakat masih mewarisi tradisi Hindu sejak jaman kejayaan Majapahit. Agama Hindu di Bali dan di Tengger pada dasarnya sama yaitu Hindu Dharma, tetapi Masyarakat Tengger tidak mengenal kasta, dan masih menganut tradisi yang pernah berkembang pada jaman Majapahit.

Tidak seperti halnya masyarakat Hindu di Bali, Masyarakat Tengger tidak memiliki Istana, pustaka, maupun kekayaan seni-budaya tradisional, meski memiliki beberapa obyek penting semacam lonceng perunggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing. Namun demikian mereka kaya akan kepercayaan dan upacara adat, diantaranya ialah:

Upacara Karo

Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabotpun juga baru. Makanan dan minumanpun melimpah.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.


Upacara Kapat

Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.


Upacara Kawulu

Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.


Upacara Kasanga

Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.


Upacara Kasada

Upacara ini diadakan pada saat purnama bulan Kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran.
Sekitar pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat Tengger mendaki Gn.Bromo untuk melempar Kurban (Sesaji) ke Kawah Gn.Bromo. Setelah pendeta melempar Ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.


Upacara Unan-Unan

Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan

Sabtu, 01 November 2008

Daftar marga Batak

A

Ajartambun • Akarbejadi • Ambarita • Angkat • Aritonang • Aruan

B

Bako • Banjarnahor • Banuarea • Barasa • Bagariang • Bakkara • Bangun • Barus • Barutu • Batubara • Butarbutar • Bukit • Brahmana • Bancin • Boliala

C

Capah • Cibero

D

Dalimunthe • Debataraja • Daulay • Doloksaribu • Depari

G

Ginting • Girsang • Gultom[1] • Gurning • Gurusinga • Gajah

H

Harianja • Harahap • Hasibuan • Hasugian • Hotmatua • Hutabarat • Hutagaol • Hutahaean • Hutajulu • Hutasoit • Hutapea • Hutasuhut • Hutauruk • Hutagalung

K

Kaban • Kacaribu • Kacinambun • Karokaro • Kasilan • Keloko • Kembaren • Ketaren • Kudadiri • Karo • Karosekali • Kombara

L

Limbong • Lingga • Lubis • Lumbanbatu • Lumbangaol • Lumbannahor • Lumbanpea • Lumbanraja • Lumbansiantar • Lumban • Tobing[2] • Lumbantoruan • Lumbantungkup

M

Malau • Manalu[3] • Manik[4] • Manullang • Manurung • Marbun[5] • Marpang • Matondang • Meliala • Munthe

N

Nababan • Nadapdap • Nadeak • Naibaho • Naiborhu • Nainggolan • Naipospos • Napitupulu • Nasution • Napitu • Manihuruk

P

Padang • Pakpahan • Pandia • Pandiangan • Pane • Pangaribuan • Panggabean • Panjaitan • Parapat • Pardede • Pardomuan • Pardosi • Pasaribu[6] • Perangin-angin • Pinem • Pohan • Pulungan

R

Rambe • Rajagukguk • Rangkuti • Ritonga • Rumahorbo • Rumapea • Rumasingap • Rumasondi

S

Sagala • Samosir • Saragi • Saruksuk • Sarumpaet • Sembiring • Siadari • Siagian • Siahaan • Siallagan • Siambaton • Sianipar • Sianturi • Sibabiat • Sibagariang • Sibangebange • Sibarani • Sibayang • Sibero • Siboro • Siburian • Sibuea • Sibutarbutar • Sidabalok • Sidabutar • Sidabungke • Sidahapintu • Sidauruk • Sigalingging • Sihaloho • Sihite • Sihombing • Sihotang • Sijabat • Silaban[7] • Silaen[8] • Silalahi • Silitonga • SinaBang • Simalango • Simamora • Simandalahi • Simangunsong • Simanjorang • Simanjuntak[9] • Simanungkalit • Simaremare • Simargolang • Simarmata • Simatupang • Simbolon • Simorangkir • Sinabariba • Sinaga[10] • Sinambela • Singarimbun • Sinuhaji • Sinulingga • Sinukaban • Sinukapar • Sinupayung • Sinurat • Sipahutar • Sipayung • Sirait[11] • Siregar • Siringo-ringo • Sitanggang • Sitepu • Sitindaon • Sitinjak • Sitohang • Sitompul[12] • Sitorus • Situmeang • Situmorang • Situngkir • Solia • Solin • Sormin • Sukatendal • Surbakti • Sinuraya • Silitonga

T

Tamba • Tambak • Tambun • Tambunan • Tampubolon[13] • Tanjung • Tarigan • Tarihoran • Tinambunan • Tinendung • Tobing • Togatorop • Togar • Torong • Tumangger • Tumanggor • Turnip • Turutan • Tigalingga

U

Ujung

Jumat, 31 Oktober 2008

Bahasa Batak

Bahasa Batak sebenarnya merupakan nama sebuah rumpun bahasa yang berkerabat yang dituturkan di Sumatra Utara.

Bahasa Batak bisa dibagi menjadi beberapa kelompok:

* Bahasa Batak Utara
o Bahasa Alas
o Bahasa Karo

* Bahasa Batak Selatan
o Bahasa Angkola-Mandailing
o Bahasa Pakpak-Dairi
o Bahasa Simalungun
o Bahasa Toba

Marga Batak Toba

Orang Batak selalu memiliki nama marga/keluarga. Nama / marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus.

Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan sendiri mempunyai 5 (lima) orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Malau Raja. Sementara Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.

Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak. Semua marga-marga ini dapat dilihat kedudukan dari Si Raja Batak di [Tarombo Online].

Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang Batak masih perlu dikaji lebih dalam.

Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba. Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), tanah Batak Toba dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu:

1. Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya)

Cth: marga Simbolon,Sagala, dsb

2. Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya)

Cth: marga Sitorus, Marpaung, dsb

3. Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya)

Cth: marga Simatupang Siburian, Sihombing Lumban Toruan, dsb

4. Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya)

Cth: marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat,dsb

Hubungan Antar Marga

Hubungan antar marga di masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak (Samosir-Toba-Humbang-Silindung) hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis keturunan Raja Batak. Semakin dekat dengan Raja Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut.

Satu hal yang pasti, 2 orang yang bermarga sejenis (tidak harus sama) secara hukum adat tidak diperbolehkan untuk menikah. Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat sangsi secara adat.

Tidak ada pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini, namun marga-marga biasanya sering dihubungkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya Simatupang merupakan perpaduan dari putranya marga Togatorop, Sianturi, dan Siburian yang ada di wilayah HUMBANG. Naipospos merupakan perpaduan dari kelima putranya yang secara berurutan, yaitu marga Sibagariang, Huta Uruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun yang berada di wilayah SILINDUNG, dan sebagainya.

Tarombo

Silsilah atau tarombo merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga mereka masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai "orang Batak kesasar" (nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Beberapa contoh artikel yang membahas tarombo dari marga-marga Batak yaitu:

* Silaban
* Raja Naipospos
* Si Opat Pusoran, yang menurunkan marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, Lumban Tobing

Tabuik

Tabuik (Indonesia: Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di Bengulu dikenal pula dengan nama Tabot.
Tabuik diturunkan ke laut di Pantai Pariaman, Sumatera Barat, Indonesia

Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak 1831.Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat.

Randai

Randai dalam sejarah Minangkabau memiliki sejarah yang lumayan panjang. Konon kabarnya ia sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan Padang Panjang ketika mesyarakat tersebut berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Randai dalam masyarakat Minangkabau adalah suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dalam artian berkelompok atau beregu, dimana dalam randai ini ada cerita yang dibawakan, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Randai ini bertujuan untuk menghibur masyarakat biasanya diadakan pada saat pesta rakyat atau pada hari raya Idul Fitri.

Randai ini dimainka oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan berlansungnya acara tersebut.

Sekarang randai ini merupakan sesuatu yang asing bagi pemuda-pemudi Minangkabau, hal ini dikarenakan bergesernya orientasi kesenian atau kegemaran dari generasi tersebut. Randai terdapat di Pasisir Selatan, sebuah daerah bagian selatan dari Sumatera Barat.

Suku Tanjung

Suku Tanjung merupakan subsuku dari Suku Minangkabau yang tergolong banyak perkembangan populasinya. Suku ini tersebar hampir di seluruh wilayah Minangkabau dan perantauannya.

Suku Tanjung termasuk kedalam Lareh Koto Piliang. Suku-suku penyetaraan suku Tanjung adalah:

* Suku Guci (sebagian ada yang mengatakan dekat ke Suku Melayu misalnya di Pauh, Padang)
* Suku Sikumbang
* Suku Koto
* Suku Sipisang
* Suku Piliang


Gelar datuk bagi suku Tanjung :

* Datuk Tan Dilangit
* Datuk Talangik
* Datuk Rajo Intan
* Datuk Rajo Ameh
* Datuk Rajo Indo
* Datuk Gamuak
source :wikipedia.org

Kamis, 30 Oktober 2008

Suku Batak

Batak adalah nama sebuah sukubangsa di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara. Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya bisasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Palbegu atau Parbegu).

Nama kumpulan

Suku Batak terdiri dari beberapa sub suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara, Kota Subulussalam, Aceh Singkil dan Aceh Tenggara. Sub suku Batak adalah:

* Suku Alas
* Suku Kluet
* Suku Karo
* Suku Toba
* Suku Pakpak
* Suku Dairi
* Suku Simalungun
* Suku Angkola
* Suku Mandailing

Wilayah Bermukim

Dalam tata pemerintahan Republik Indonesia yang mengikuti tata pemerintahan Kolonial Belanda, setiap sub suku berdiam dalam satu kedemangan yang kemudian dirubah menjadi Kabupaten setelah Indonesia merdeka.

Sub suku Batak Toba berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta Sarulla. Empat tahun terakhir ini, Kabupaten Tapanuli Utara sendiri telah dimekarkan menjadi beberapa Kabupaten yakni Kabupaten Tapanuli Utara (ibukota Tarutung), Kabupaten Toba Samosir (ibukota Balige), Kabupaten Samosir (ibukota Pangururan), Kabupaten Humbang (ibukota Siborong-borong), Kabupaten Humbang Hasundutan (ibukota Dolok Sanggul).

Sub suku Batak Karo mayoritas berdiam di Kabupaten Karo dengan ibukota Kabanjahe, namun sebagian juga tersebar di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Mereka yang bermukim di wilayah Kabupaten Karo kerap disebut sebagai Karo Gunung, sementara yang di Kab. Langkat dan Deli Serdang kerap disebut dengan Karo Langkat.

Sub suku Batak Alas bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Populasi mereka meningkat paska Perang Aceh dimana pada masa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda, suku Batak Toba selalu mengirimkan bala bantuan. Setelah perang usai, mereka banyak yang bermukim di wilayah Aceh Tenggara.

Sub suku Batak Pakpak terdiri atas 5 sub Pakpak yaitu Pakpak Kelasen, Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Pegagan, bermukim di wilayah Kabupaten Dairi yang kemudian dimekarkan pada tahun 2004 menjadi dua kabupaten yakni: Kabupaten Dairi (ibukota Sidikalang)dan Kabupaten Pakpak Bharat (ibukota Salak). Suku Batak Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah.Suku Pakpak yang tinggal diwalayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Kelasan. Dalam jumlah yang sedikit, suku Pakpak juga bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.

Sub suku Batak Simalungun mayoritas bermukim di wilayah Kabupaten Simalungun (ibukota Pematang Raya). Pematang Siantar semasa awal menjadi Ibukota Kabupaten Simalungun mayoritas dihuni oleh Suku Simalungun, namun seiring derasnya pendatang Kota ini menjadi Kota Administratif dan bersifat multikultural. Suku Simalungun juga bermukim di kabupaten Serdang Bedagai, Karo dan Kabupaten Asahan.

Sub suku Batak Mandailing dan Angkola bermukim di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota Padang Sidempuan) dan Kabupaten Mandailing Natal (sering disingkat dengan Madina dengan ibukota Penyabungan). Kabupaten ini berdiri sejak tahun 1999 setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapsel.

Sementara itu, Kabupaten Tapanuli Tengah (ibukota Sibolga)sejak dulu tidak didominasi oleh salah satu sub suku batak. Populasi Batak Toba cukup banyak ditemui di daerah ini, demikian juga dengan Batak Angkola dan Mandailing. Dalam jumlah yang kecil, Batak Pakpak juga bermukim di daerah ini khususnya Kota Barus. Hal ini dimungkinkan karena Tapanuli Tengah terletak di tepi Samudera Hindia yang menjadikannya sebagai pintu masuk dan keluar untuk melakukan hubungan dagang dengan dunia internasional. Salah satu kota terkenal yang menjadi bandar internasional yang mencapai kegemilangannya sekitar abad 5 SM-7 SM adalah Kota Barus.

Tarombo

Silsilah atau tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum Adam diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Falsafah Batak

Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Na Tolu yakni Somba Marhula-hula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri) Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.

Batak pada era modern

Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da'i dari dari negeri Minang. Perluasan penyebaran agama islam juga pernah memasuki hingga ke daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku Rao dari Sumatera Barat, namun tidak begitu berhasil. Islam lebih berkembang di kalangan Batak Mandailing dan sebagian Batak Angkola.

Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Batak Angkola dan Toba setelah beberapa kali misi Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu.

Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.
source :wikipedia.org

Suku Minang - wikipedia

Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal dari provinsi Sumatera Barat. Suku ini terutama terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan cerminan adat Minang yang berlandaskan Islam.

Suku Minang terutama menonjol dalam bidang pendidikan dan perdagangan. Kurang lebih dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini, populer dengan sebutan masakan Padang.

Minangkabau merupakan tempat berlangsungnya perang Paderi di tahun 1821 - 1837.

Suku-suku dalam Etnik Minangkabau

Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak lagi klan, yang oleh orang Minang sendiri hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang, Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.

Di masa awal Minangkabau mengemuka, hanya ada empat suku dari dua lareh atau kelarasan (laras). Suku-suku tersebut adalah:

  • Suku Koto
  • Suku Piliang
  • Suku Bodi
  • Suku Caniago

Dan dua kelarasan itu adalah :

  1. Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
  2. Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang

Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:

  • Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik[rujukan?]
  • Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis[rujukan?]

Dalam masa selanjutnya, muncullah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang, diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia Nan Bamego-mego.

Sekarang, suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:

  • Suku Tanjung
  • Suku Sikumbang
  • Suku Sipisang
  • Suku Bendang
  • Suku Melayu (Minang)
  • Suku Guci
  • Suku Panai
  • Suku Jambak
  • Suku Kutianyie
  • Suku Kampai
  • Suku Payobada
  • Suku Pitopang
  • Suku Mandailiang
  • Suku Mandaliko
  • Suku Sumagek
  • Suku Dalimo
  • Suku Simabua
  • Suku Salo
  • Suku Singkuan

Etimologi

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang (menang) dan kabau (kerbau). Nama itu berasal dari sebuah legenda. Konon pada abad ke-13, kerajaan Jawa melakukan invasi ke Minangkabau. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat lokal mengusulkan untuk mengadu kerbau Minang dengan kerbau Jawa. Pangeran Jawa menyetujui usul tersebut dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif. Sedangkan masyarakat Minang menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau itu mencari kerbau Jawa dan langsung mencabik-cabik perutnya, karena menyangka kerbau tersebut adalah induknya yang hendak menyusui. Kecemerlangan masyarakat Minang tersebut yang menjadi inspirasi nama Minangkabau.

Asal Usul

Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek). Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan.

Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis.

Sosial Kemasyarakatan

Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap Nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin-pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan KAN (Kerapatan Adat Nagari). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

Kebudayaan

Pakaian adat Minangkabau
Pakaian adat Minangkabau

Dalam pola keturunan dan pewarisan adat, suku Minang menganut pola matrilineal, yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan hampir seluruh suku Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang, dikenallah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.

Meskipun menganut pola matrilineal, masyarakat suku Minang mendasarkan adat budayanya pada syariah Islam. "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai."

Upacara dan Festival

  • Turun mandi
  • Batagak pangulu
  • Turun ka sawah
  • Manyabik
  • Hari Rayo
  • Tabuik

Kesenian

  • Randai
  • Pencak Silat
  • Saluang
  • Talempong
  • Tari Piring
  • Tari Payung
  • Tari Pasambahan
  • Tari Indang
  • Sambah manyambah
  • Nasi Kapau

Kerajinan Tangan

  • Songket yang dikerjakan oleh Pandai sikek

Makanan

Rendang
Rendang
  • Rendang
  • Sambal Balado
  • Kalio
  • Gulai Cancang
  • Samba Lado Tanak
  • Palai
  • Lamang
  • Bubur Kampiun
  • Es Tebak
  • Gulai Itik
  • Gulai Kepala Ikan Kakap Merah
  • Sate Padang
  • Soto Padang
  • Asam Padeh
  • Keripik Jangek
  • Keripik Balado
  • Keripik Sanjai
  • Dakak-dakak
  • Galamai
  • Amping Badadih


Minang Perantauan

Rumah Gadang
Rumah Gadang













































































Minang perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, 1973 (Merantau, Minangkabau Voluntary Migration, University of Singapore), pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 %. Berarti hampir separuh orang Minang berada di luar Sumatra Barat. Melihat data tersebut, maka berarti ada perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau tertinggi di Indonesia adalah orang Bawean (35,9 %), kemudian suku Batak (14,3 %), lalu Banjar (14,2 %), sedangkan suku Minang hanya sebesar 10,5 %.

Saat ini diperkirakan jumlah Minang perantauan bisa mencapai 70 %, bahkan lebih. Hal ini berdasarkan penelitian acak, yang menyebutkan setiap keluarga di ranah Minang, dua pertiga saudaranya hidup di perantauan[rujukan?]. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Migrasi besar-besaran pertama terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke Negeri Sembilan, Malaysia. Kemudian gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-19, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak privelese untuk mendiami kawasan kerajaan Riau-Lingga.

Pada masa penjajahan Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa kemerdekaan, Minang Perantauan banyak mendiami kota-kota besar di pulau Jawa. Kini, Minang Perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau.

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Mayoritas perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

Orang Minangkabau dan Pencapaiannya

Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (3% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.

Sejak dulu orang Minang telah merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Philipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa.

Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain Djamaluddin Tamin, A.R Sutan Mansyur, dan Siradjuddin Abbas.

Pada periode 1920 - 1960 banyak politisi Indonesia yang berpengaruh berasal dari Minangkabau. Di masa Demokrasi Liberal, pemerintahan dan parlemen Indonesia banyak diisi oleh orang Minang. Diantara mereka ialah Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Agus Salim, Muhammad Natsir, dan Assat. Penulis dan jurnalis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa Indonesia melalui berbagai macam profesi dan bidang keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, dan Hamka sebagai penulis novel. Chairil Anwar dan Taufik Ismail lewat puisi, serta Djamaluddin Adinegoro dan Rosihan Anwar sebagai jurnalis. Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit.

Orang Minang juga berkontribusi besar di Malaysia dan Singapura, antara lain Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Tan Sri Abdul Samad Idris dan Adnan bin Saidi.

Literatur

  • (de) Astrid Kaiser: Mädchen und Jungen in einer matrilinearen Kultur. Interaktionen und Wertvorstellungen bei Grundschulkindern im Hochland der Minangkabau auf Sumatra. Kovac, Hamburg 1996 ISBN 3-86064-419-X
  • (de) Ute Marie Metje: Die starken Frauen. Gespräche über Geschlechterbeziehungen bei den Minangkabau in Indonesien. Campus, Frankfurt am Main und New York 1995, ISBN 3-593-35409-8
  • (de) Dieter Weigel: Reisemosaik bei den Minangkabau. Sumatra. Heiteres, Ernstes, Alltägliches, Unglaubliches. Jahn und Ernst, Hamburg 1998, ISBN 3-89407-208-3 (Erlebnisbericht)
  • AA. Navis, Curaian Adat Minangkabau
  • Tambo Alam Minangkabau
source : wikipedia.org

suku tengger - wikipedia


Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang.

Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger".

Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tengger

Rabu, 01 Oktober 2008

Talempong


Talempong adalah sebuah alat musik khas Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan gamelan dari Jawa. Talempong dapat terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu, saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan. Talempong ini berbentuk bundar pada bagian bawahnya berlobang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat tangga nada (berbeda-beda). Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.

Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tari piring yang khas, tari pasambahan, tari gelombang,dll. Talempong juga digunakan untuk menyambut tamu istimewa. Talempong ini memainkanya butuh kejelian dimulai dengan tangga pranada DO dan diakhiri dengan SI. Talempong diiringi oleh akor yang cara memainkanya sama dengan memainkan piano.