Rabu, 12 November 2008

Gunung Sinabung













Gambar : Gunung Sinabung dari brastagi

Gunung Sinabung adalah nama sebuah gunung di dataran tinggi Karo, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Sinabung bersama Sibayak di dekatnya adalah 2 gunung berapi aktif di Sumatera Utara. Dengan ketinggian 2.460 meter, gunung ini menjadi puncak tertinggi di Sumatera Utara.

Koordinat puncak gunung Sinabung adalah 3 derajat 10 menit LU, 98 derajat 23 menit BT.

Sabtu, 08 November 2008

Tokoh Kunci Langgengnya Suku Tengger

Diposkan oleh Putri Biru / Dewi Biru

Hulun Yang dan tanah sekitarnya disebut sebagai Hila-hila. Huku Yang diartikan sebagai masyarakat Tengger, sedangkan Hila-hila adalah tanah suci. Kepercayaan yang sudah dianut sejak abad ke-10 itulah yang mendasari masyarakat Tengger menjalankan sekian banyak ritual dalam kehidupan mereka. Dalam satu tahun, mereka melakukan enam kali pujaan besar, yaitu :

1. Pujan Karo (Bulan Karo), diawalai tanggal 15 Kalender saka Tengger, disamping berupacara masyarakat Tengger juga melakukan anjang sana (silaturahmi) kepada semua sanak masyarakat Tengger. Uniknya tiap berkunjung harus menikmati hidangan yang diberikan oleh tuan rumahnya.

2.Pujan Kapat (Bulan Keempat) tanggal 4, dilakukan bersama-sama di setiap desa (rumah kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa, dukun, dan masyarakat desa.

3.Pujan Kapitu (Bulan Tujuh), semua pini sepuh desa dan keharusan pandita dukun melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan pati geni (Nyepi) satu hari satu malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya diisi puasa mutih (tidak makan makanan yang enak-enak), biasanya hanya memakan nasi jagung dan daun-daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai ditutup satu hari dengan pati geni.

4. Pujan Kawolu (Bulan Delapan) tanggal 1 dilakukan bersama-sama dirumah kepala desa.

5. Pujan Kasangan (Bulan Sembilan) tanggal 24 setelah purnama masyarakat bersama anak-anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.

6. Kasada (Bulan Dua Belas) tanggal 15 dan 14, dilakukan di Ponten Pure Luhur, semmua masyarakat Tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak hanya mesyarakat Tengger yang beragama hindu saja, tetapi juga semua masyarakat Tengger yang beragama lain. Setelah upacara, melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah dimantrai dukun ke kawah Gunung Bromo. Tidak hanya upacara saja tetapi juga bermusyawarah dan bersilaturahmi para dukun dan masyarakat Tengger.

Ada juga upacara yang dilakukan tiap lima tahun, yaitu upacara Unan-unan. Unan-unan adalah tahun panjang (seperti tahun kabisat) melakukan upacara ngrawut jagad, mensucikan hal-hal yang tidak baik dengan mengorbankan karbau. Unan yaitu mengarungi bulan.

Upacara yang dilakukan secara individu :
1. Upacara Tujuh Bulanan (Sayut) dipimpin oleh pandita dukun.

2. Upacara lindungi anak, anak yang menginjak masa remaja.

3. Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan Tugel Kuncung (perempuan), memotong sedikit rambut sekitar pusar rambut anak-anak yang menginjak umur 5 tahun (akan masuk sekolah). Upacara ini tidak wajib, jika keturunan pertama melaksanakan upacara ini dan sebaliknya jika keturunan pertama tidak melaksanakan, keturunan selanjutnya pun tidak diwajibkan untuk melaksanakan.

4. Upacara ngruwat, jika ada saudara 2 laki-laki atau salah satu anak laki-laki dan perempuan atau anak tunggal.

5. Upacara Kawihan (kimpoi), upacara ini seperti halnya ijab kobul.

6. Upacara Walagara (Temu Manten)

7. Upacara mendirikan rumah.

8. Upacara Kematian, minimal 4 hari setelah meninggalnya dilakukan upacara untas-untas (roh orang meninggal diharapkan kembali pada pemiliknya)

Sebagai sebuah masayarakat yang lekat dengan segala ritual, Tengger menempatkan sosok yang sangat terhormat dan disegani. Mereka bahkan lebih memilih tidak memiliki kepala pemerintahan desa daripada tidak memiliki pemimpin ritual. Jumlah dukun pada masyarakat Tengger ada 42 di setiap desa yang mengelilingi pegunungan Semeru dan Bromo tersebar di Lumajang, Probolinggo, Pasuruan dan Malang. Para dukun Pandita, pemimpin ritual itu, tidak bisa dijabat sembarang orang. Sekian banyak persyaratan harus dipenuhi untuk menjadi perantara masyarakat Tengger dengan Hyang Widhi Wasa, Sang Penguasa Jagad. Juga kepada Sang Hyang Brahma yang bersemayam di Gunung Bromo, kepada roh para leluhur, dan Buta Kala.

Pak dukun, demikian mereka dipanggil, bertugas menjadi penglantar (perantara) doa-doa masyarakatnya kepada Sang Pencipta. Masyarakat Tengger masih identik dengan agama Hindu, meskipun secara tata cara berbeda dengan agama Hindu yang ada di Bali. ”Sebagai Penglantar, kami dipercaya bisa membuat permohonan itu dikabulkan,: Ujar dukun desa Ngadasari, Sutomo (45).

Disitulah beratnya tugas sang dukun. Ada berbagai macam permintaan warganya, meskipun tidak pernah ada yang aneh-aneh, menunggu untuk diantarkan. Sering mereka harus mendatangi masing-masing rumah untuk keperluan mengantarkan doa tersebut. ”Apalagi pada bulan karo (Hari raya terbesar masyarakat Tengger), saya harus melayani pujian di setiap rumah, yang jumlahnya mencapai 500 keluarg,” kata Sutomo. Ia bisa memulainya pada pukul 02.00 dinihari dan baru pulang pukul 15.00 maka, seorang dukun harus sehat lahir batin untuk menjalankan tufas yang cukup berat, yang harus dilakukan seumur hidupnya.

Pemilihan dukun pandita awalnya hasil bermusyawarah dai kepala desa, tokoh masyarakat dan para sesepuh desa. Criteria dukun pandita adalah jujur, dapat bermasyarakat dengan baik, factor keturunan, dan pantang mo-limo. Sebelum mulai menjalankan tugasnya, para dukun Tengger harus memulai serangkaian ujian. Biasanya dilakukan bersamaan dengan puncak perayaan Kasada. Dukun pandita diuji dengan cara harus dapat membaca mantra dengan lancar. Seorang dukun pandita harus dapat menghafalkan upacara yang disebut mulunen itu merupakan sat dimana para dukun baru mengucapkan mantera panjang tanpa terputus sebagai syarat ujian mereka. Setelah mantra tersebut dihafalkan dengan benar, segera ketua dukun bertanya pada dukun-dukun lainnya, ”Sah?.. sah?” dan segera terdengar jawaban panjang, ”Saaaaaahh....” dan luluslah dukun baru itu. Meskipun sudah disahkan, tidak serta merta mereka bis alangsung menjalankan tugas. Mereka harus melalui upacara resik atau berkenalan dengan yang mbaurekso (penunggu) desa, juga pejabat formal dan informal. ”Resik disini artinya membersihkan jiwa dan raga. Jika sudah resik, barulah dukun boleh menjalankan tugasnya.” Kata Sutomo.

Satu lagi kewajiban berat dukun adalah menghafalkan puluhan mantra. Dukun Tengger dan mantra memang tidak bisa dipisahkan. Hidupnya adalah untuk membaca mantra dalam berbagai pujian. Mereka selalu dimintai mantra oleh para penduduk yang mempunyai suatu keinginan tertentu. Jumlah mantra yang harus dihafalkan oleh dukun mencapai 90 bab yang kebanyakan panjang dalam bahasa kawi (Jawa kuno). ”Semua mantra itu bersifat baik, tidak ada satupun mantra yang bersifat buruk seperti untuk penglarisan, tenung atau mengganggu orang lain. Semua mantra merupakan doa keselamatan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.” Tambah Sutomo. Diiringi wangi dupa dari Prapen (Tempat dupa dibakar), percikan air dari Prapen (tempat air suci diletakkan) doa dan mantra melambung ke alam semesta.

Pada upacara entas-entas atau pengruwatan, seorang dukun harus membaca mantra selama satu jam tanpa jeda. Mantra sepanjang itu harus dihafalkan diluar kepala, tidak boleh membaca catatan. Sutomo bangun setiap pukul 03.00 ketika pikirannya masih segar untuk menghafalkan mantra-mantra itu. Dalam masyarakat tradisional, sosok seorang pemimpin spiritual semacam dukun lebih disegani daripada pemimpin administrasi (pemerintah). Mereka mempunyai hukum masyarakat sendiri, di luar hukum formal yang berlaku dalam negara. Dengan hukum itu mereka sudah bisa mengatur dan mengendalikan berbagai persoalan dalam kehidupan kemasyarakatan mereka. Hampir sama dengan yang terjadi di Madura, bahwa sosok kiai memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya. Mereka akan lebih didengarkan daripada kepala desanya. Apa yang dikatakan kiai, itulah yang dituruti. Tampaknya dalam masyarakat Tengger pun terjadi hal demikian. Dukun dalam masyarakat Tengger tidak sama dengan dukun dalam masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan hal-hal supranatural.
Dukun di Tengger lebih dekat dengan masalah agama dan kepercayaan, bukan hal-hal supranatural. Agama yan g berlaku di Tengger, diistilahkan Pudjio sebagai agama tradisional. Memang kabur konepnya. Maka, ketika harus memilih kecenderungan di antara lima agama yang berlaku di Negara ini, mereka lebih dekat dengan agama Hindu. Maka mereka menyebut dukun sebagai dukun pandita. Seiring dengan banyaknya pengaruh yang masuk ke dalam masyarakat tradisional seperti Tengger melalui pariwisata atau teknologi komunikasi, terjadi cultural change, perubahan kebudayaan.

Jumat, 07 November 2008

Ritual Adat Unan-unan

Masyarakat suku Tengger yang mendiami kawasan Gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur memiliki tradisi unik untuk mengusir makhluk halus sekaligus untuk menyelamatkan desa mereka dari malapetaka.

Ritual yang digelar setiap 5 tahun sekali ini dikenal dengan ritual Unan - Unan yang berarti penyempurnaan kekurangan atau perbuatan yang telah merugikan kehidupan.

Ritual Unan - Unan diawali dengan mengarak sesaji berupa kepala kerbau dari Balai Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo menuju sanggar pemujaan ditempat pendiri desa (punden). Seluruh tokoh agama, tokoh desa dan warga suku Tengger berpakaian adat ikut serta dalam arak - arakan dengan diiringi gamelan Jawa dan tarian Reog.

Doa - doa dan mantra dibacakan sepanjang perjalanan menuju sanggar pemujaan. Cara ini dilakukan agar seluruh makhluk halus tidak mengganggu sepanjang ritual berlangsung. Setibanya disanggar pemujaan dukun dan para tokoh adat mengambil tempat untuk melakukan sembahyangan dan memantrai air suci.

Air suci itulah yang kemudian ditabur kepada seluruh peserta upacara adat, sebagai simbol pengusiran kesilauan hidup.

"Tradisi ini dilakukan untuk meminta keselamatan dan dijauhkan dari mara bahaya serta minta diberikan rejeki didalam melakukan aktifitas pertanian, khususnya di desa Tengger, Desa Ngadisari ini untuk kedepannya" ujar Supoyo, Kepala Desa Ngadisari.

Bagi warga suku Tengger, ritual Unan - Unan ini sangat penting karena menyangkut keselamatan jiwa bumi dan seluruh makhluk di bumi ini. Mereka berharap setelah ritual Unan - Unan akan terwujud kehidupan yang lebih baik.

Selain untuk membersihkan desa dari gangguan makhluk halus, ritual Unan - Unan juga bertujuan menyempurnakan para arwah yang belum sempurna untuk kembali ke alam asalnya.

Ritual ini juga menandai penggantian kalender bagi suku Tengger di Gunung Bromo. Unan - Unan berasal dari kata tuna (rugi). Dengan ritual Unan - Unan ini diharapkan kekurangan - kekurangan selama tahun - tahun sebelumnya bisa disempurnakan. Ritual Unan - Unan biasanya dilaksanakan serentak di lima desa disekitar lereng Bromo, yaitu Desa Ngadisari, Jetak, Wonokriti, Wonokerso dan Sukapura. (dari berbagai sumber)

Kamis, 06 November 2008

Ada Candi di Lereng Bromo

Andai saja laporan Soekarno tidak ”terselip” di rimba birokrasi, keberadaan Candi Sanggar di lereng Gunung Bromo, tepatnya di Dusun Wonogriyo, Desa Pusungmalang, Kecamatan Puspo, Pasuruan, Jawa Timur, seharusnya sudah terkuak sejak 20 tahun lalu.

Kini, keinginan Soekarno untuk menyelamatkan candi tersebut sudah terpenuhi. Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta telah mengirim satu tim yang diketuai oleh Dra TM Rita Istari dan melibatkan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, 20 Juni-1 Juli 2005.

Penelitian yang dilakukan tim Balar Yogyakarta memang bermula dari kepedulian Soekarno, guru SD Bulukambang, Kecamatan Lumbang, Pasuruan. Dia prihatin dengan adanya tinggalan berupa runtuhan batu-batu candi, arca-arca, pecahan-pecahan gerabah dan keramik di suatu lokasi di atas bukit di lereng Gunung Bromo.

Sebenarnya, Soekarno sudah melaporkan situs yang berada di tengah hutan dan ladang penduduk tersebut sejak 1985. Laporan itu ia tembuskan ke berbagai instansi terkait di sana. Namun, entah mengapa laporan itu tidak mendapat tanggapan, hingga akhirnya (2004) laporan tulisan tangan Soekarno sampai di Balar Yogyakarta.

Tim dari Balar Yogyakarta yang mendatangi tempat tersebut memang menemukan bahwa di lokasi berketinggian 1.340 meter dari atas permukaan laut itu pernah berdiri bangunan candi. Hanya saja, temuan- temuan arca yang sebelumnya dilaporkan keberadaannya sudah lama dicuri atau dibuang orang. Penduduk menyebut situs ini sebagai punden atau Candi Sanggar. Sanggar merujuk pada sebuah tempat untuk pemujaan.

Kepala Balar Yogyakarta Harry Widianto mengungkapkan, temuan tersebut menjadi istimewa karena hingga kini masih merupakan satu-satunya candi yang ditemukan di lereng Gunung Bromo. Berbeda dengan lereng-lereng di Gunung Penanggungan, Gunung Semeru, dan Gunung Arjuna yang sudah banyak ditemukan candi-candi besar maupun kecil.

Hasil penggalian tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta menunjukkan, situs Candi Sanggar ini terdiri atas tiga bagian: bagian terendah, tengah, dan atas. Arah hadap candi ke Gunung Bromo. Di bagian terendah terdapat lempengan-lempengan batu pipih semacam lantai halaman. Di bagian tengah ditemukan sebuah angka tahun, tulisan dan huruf Jawa kuno terpahat pada salah satu sisi batuan candi berukuran 72 x 74 cm.

Ditemukan pula temuan in-situ yang masih terletak di dalam tanah lebih kurang sedalam 40 cm, dan terbaca angka 1267 Saka atau 1345 Masehi. Di permukaan tanah di sekitar lokasi candi ditemukan pula sebuah angka tahun terpahat pada salah satu sisi umpak batu setinggi 30 cm dan dapat dibaca angka 1431 Saka atau 1509 Masehi.

Dari dua angka tahun yang ditemukan, diduga candi tersebut dibangun antara abad XIV dan abad XVI, yaitu pada masa pemerintahan Raja Majapahit yang bernama Tribhuwana Wijayottunggadewi (1328-1350) dan pada masa pemerintahan Raja Majapahit terakhir, yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (1474-1519). (INE)
http://www2.kompas..com/kompas-cetak/...ra/1938173.htm

Rabu, 05 November 2008

Dialek suku tengger

Bahasa Tengger dituturkan di daerah Gunung Bromo yang termasuk wilayah Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang.

Di Pasuruan, cara Tengger ditemukan di kecamatan Tosari, lalu di Probolinggo, daerah kecamatan Sukapura, sedangkan Malang, cara Tengger dituturkan di wilayah desa Ngadas, kecamatan Poncokusumo. Yang terakhir, di Lumajang dituturkan di wilayah Ranupane, kecamatan Senduro.

Dialek ini dianggap turunan basa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern.

Contoh :

* reang: aku, jika yang berbicara lelaki
* isun : aku, jika yang berbicara perempuan

Apabila abjad a dalam bahasa Jawa modern dibaca O, di Tengger dibaca A.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dialek_Tengger

Selasa, 04 November 2008

Legenda Ajisaka: Resistensi Gaya Tengger

Masyarakat Suku Tengger merupakan salah satu masyarakat yang hidup di pegunungan Bromo di Kawasan Probolinggo – Pasuruan – Lumajang - Malang. Konon asal mula cerita masyarakat Tengger terbentuk dari pelarian prajurit dan penduduk Majapahit ketika suatu ketika kerajaan tersebut diserang oleh Demak. Untuk mempertahankan diri jalan satu-satunya bagi mereka adalah melarikan diri, dan sampailah mereka di pegunungan Tengger.

Perjalanan selanjutnya, sebagai suku pelarian dan membentuk suatu masyarakat dengan berbagai pranata sosialnya mereka memiliki berbagai karakteristik sosial, budaya, politik dan agama. Berbagai aspek karakteristik tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Agama memiliki keterkaitan dengan politik dan sosial dan demikian pula sebaliknya.

Namun demikian mainstream besar yang menjadi bahan perbincangan menarik dalam hal ini adalah soal bagaimana masyarakat Tengger melakukan resitensi atas berbagai “serangan” dari kebudayaan lain. Sebagai suku yang memiliki kebudayaan cukup unik, mereka merasakan memiliki sesuatu warisan budaya yang harus dipertahankan.

Orang Tengger memiliki petunjuk yang mengarah kepada keharminisan dan kelestarian dalam persaudaraan, seperti yang terdapat dalam sesanti pancasetia (lima petunjuk kesetiaan), yakni setya budaya (taat dan hormat kepada adat), setya wacana (kata harus sesuai dengan perbuatan), setya semaya (selalu menepati janji), setya laksana (bertanggungjawab terhadap tugas) dan setya mitra (selalu membangun kesetiakawanan). Dengan kata lain orang memiliki bekala-bekal hidup untuk menjadi diri mereka sendiri.

Untuk mencapai kesejahteraan hidup, orang Tengger wajib menjauhi malima: maling (mencuri), main (main judi), madat (menghisap candu), minum (mabuk karena minuman keras), madon (main perempuan); sekaligus wajib menjaga walima: waras (sehat jasmani dan rohani), wareg (cukup makan), wastra (cukup sandang), wasis (cukup ilmu pengetahuan) dan wisma (memiliki tempat tinggal yang layak).

Dalam hal ini legenda Ajisaka adalah cerita rakyat Tengger sebagai salah satu bentuk resistensi tersebut.

Artikel yang pernah ditulis oleh Dr. Bisry Effendy, Direktur Lembaga Kebudayaan Desantara dan peneliti dari LIPI ini menyangkut bagaimana masyarakat Tengger melakukan resistensi dengan menciptakan legenda Ajisaka.

Konon cerita hidup sepasang suami istri di pegunungan Tengger, Kyai dan Nyai Kures. Mereka hidup miskin dan pekerjaan utamanya adalah mencari kayu bakar. Ia memiliki anak bernama Dursila yang bertabiat buruk.

Suatu hari Kyai Kures bertemu dengan ular besar bernama Antaboga. Kyai Kures dililit tapi lalu dilepaskan ular tersebut dengan perjanjian Kyai Kures mau menyerahkan 2 kaleng susu setiap hari pada Antaboga. Karena sering merasa kesulitan akhirnya Antaboga bersikap iba dan justru memberikan emas yang sangat banyak yang dimuntahkan dari mulutnya. Seketika Kyai Kures kaya mendadak, dan hal itu membuat anaknya si Dursila iri hati. Diam-diam Dursila menemui Antaboga dan memaksa agar Antaboga memuntahkan emas. Antaboga tidak suka dipaksa, ia marah dan menelan Dursila hidup-hidup.

Antaboga menghibur Kyai Kures agar tidak bersedih dengan kematian Dursila, terutama karena ia akan memiliki anak kagi yang lebih elok. Dan betul tak lama kemudian ia memiliki putra yang sangat ganteng, yang bernama Ajisaka. Atas saran Antaboga agar Kyai Kures menghantarkan Ajisaka berguru kepada Nabi Muhammad di Mekkah. Di Mekkah Kyai Kures bertemu dengan Sayyidina Ali, Abu Bakar, Utsman dan sahabat-sahabat nabi lainnya.

Setelah selesai menimba ilmu kepada nabi Muhammad, Ajisaka lalu pulang. Nabi memberikan oleh-oleh berupa lontar dan alat tulis. Tetapi salah satu hadiah Nabi itu (lontar) ketinggalan di Mekkah, dan Ajisaka baru ingat ketika sudah sampai di Tengger. Maka Ajisaka mengutus abdinya bernama Ana untuk mengambil tanda mata tersebut. Di sisi lain Nabi pun mengutus pembantunya Alif untuk mengantarkan lontar tersebut. Sesampai di tengah jalan kedua abdi bertemu. Karena keduanya saling berebut, akibatnya kedua dari mereka meninggal dunia.

Ketika Ajisaka mendengar kabar tersebut, ia lalu bersajak, “Ana Caraka Data Sawala Pada Jayanya Maga Batanga”. Sajak tersebut sampai sekarang menjadi abjad Jawa. Orang-orang Tengger memperingati kematian kedua cantrik tersebut dengan upacara Karo. Sampai sekarang.[1]

Makna Legenda Ajisaka

Legenda Ajisaka sangat terkenal di masyarakat Jawa dan terutama masyarakat Tengger. Cerita tersebut cukup kontroversial didengar, dan bisa menjebak kita untuk menafsirkan bermacam-macam soal. Karena itu banyak yang meragukan kisah tersebut berasal dari leluhur orang Tengger. Karena itulah Tengger amat menarik perhatian para peneliti. Cukup banyak penelitian dilakukan di Tengger, sepeti Meinsma (1879), Hefner (1985), Sutarto (1997).

Singkat kata, cerita tersebut memang cukup merepresentasikan bahwa masyarakat Tengger amatlah problematik. Tidak sesederhana yang kita lihat. Ada banyak intrik politik, intervensi mainstream asing, pola resistensi dan berbagai kejadian yang menarik perhatian. Misalnya pembantaian massal tahun 1965 yang mengambinghitamkan masyarakat Tengger sebagai antek komunis.

Dalam kaitannya dengan mata kuliah yang sedang kita ikuti ini, dinamika masyarakat Tengger berkaitan dengan Legenda Ajisaka tersebut bisa menunjukkan pada kita akan perubahan sosial dari suatu pranata sosial. Misalnya berbagai kearifan lokal masyarakat Tengger yang sekarang sudah mulai hilang sedikit demi sedikit karena tertelan arus perubahan zaman.

Perubahan Pranata Sosial Masyarakat Tengger

Dari Legenda Ajisaka kita bisa memetik beberapa perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Tengger dewasa ini, mulai dari pertarungan antara mainstream besar sampai upaya resistensinya sendiri.1. Dari segi keagamaan masih tidak jelas posisi agama yang dianut masyarakat Tengger, apakah mengikuti agama Hindu, atau Islam. Karena agama Tengger tidak termaktub dalam kamus resmi agama-agama di Indonesia, maka masyarakat Tengger lalu menjadi obyek rebutan agama-agama resmi. Misalnya pemaksaan nama agama dalam KTP, pencatatan data statistik dan seterusnya. Agama animismenya sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat sudah melihat perubahan sosial melalui televisi dan media massa lainnya.2. Dari segi sosial, beberapa pranata, seperti upacara-upcara adat sudah mulai ditinggalkan oleh generasi penerusnya. Mereka yang masih memelihara adat tersebut hanya sedikit, itupun dari kalangan tua. Mereka yang muda dan berpendidikan umumnya sudah menilai warisan leluhur kurang penting. Kaum muda cenderung ahistoris.3. Dari segi struktur sosial, masyarakat Tengger tampaknya sering terganggu dengan aturan-aturan formal pemerintah seperti dalam UU Pemerintah Desa yang harus ada “ini” dan “itu”. Karena itulah kendati struktur sosial di mana masyarakat Tengger dipimpin oleh dukun turun temurun yang dibuktikan dengan keahliannya melindungi masyarakat sudah kurang diperhatikan. 4. Dari segi ekonomi, terdapat peningkatan yang cukup signifikan bukan hanya karena di daerah Tengger terdapat kawasan wisata Gunung Bromo, melainkann juga karena produktivitas yang meningkat dalam pertaniannya, serta adanya usaha-usaha lain. Di kalangan masyarakat kita terdapat asumsi kuat bahwa mereka adalah masyarakat yang cukup berada.5. Dari segi budaya dan adat terdapat pergeseran menuju hal-hal yang lebih komersial (generasi muda) di tengah upaya sebagian kecil generasi tua untuk terus melestarikan warisan leluhurnya.

***

HEFNER (1990) menyatakan segi-segi masyarakat Tengger yang damai, sejahtera tanpa adanya konflik. Namun penelitian Hefner 20 tahun yang lalu saat ini sudah kurang relevan mengingat perubahan yang sangat drastis dialami oleh penduduk Tengger.

Proses hinduisasi oleh Parisada Hindu Dharma atau islamisasi oleh kelompok-kelompok tertentu, serta pembantaian yang dilakukan rezim kepada warga Tengger yang dikomuniskan merupakan unsur-unsur dendam yang bisa meledak kapanpun. Kaum elit Tengger, dalam berbagai penelitian, menyatakan bahwa mereka tidak beragama Hindu, begitu pula cukup repot menghadapi proses islamisasi kelompok tertentu. Begitu pula proses budhaisasi yang memasukkan secara “paksa” orang-orang Tengger menjadi penganut Budha Mahayana melalui SK No. 00/PHB Jatim/Kept/III/73. Akibatnya tradisi lokal masyarakat Tengger semakin lama semakin tercerabut dan hanyan menjadi cerita sejarah saja. RujukanEffendy, Bisry. 2003. Legenda Ajisaka: Resistensi Gaya Tengger. Majalah Ngaji Budaya, Desantara dan PUSPeK Averroes.Hefner, W. Robert. 1990. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKiS.Sutarto, Ayu. 1997. Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang. Disertasi. * Review, ditulis dan disadur oleh Saiful Arif, Freelance, di Malang


[1] Untuk nama Alif dan Ana, ada yang bercerita Seco dan Setuhu. Sedangkan upacara Karo adalah upacara besar masyarakat Tengger selain Kasodo. Yang pertama lebih pada komunitas Islam dan berikutnya lebih pada komunitas masyarakat Tengger.

Senin, 03 November 2008

Suku Gayo

Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Suku Gayo mendiami tiga kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Suku Gayo juga mendiami beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara , Kabupaten Aceh Tamiang , Kecamatan Beutong Kabupaten Nagan Raya dan di Kecamatan Serba Jadi di Kabupaten Aceh Timur.

Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.

Bahasa

Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Lut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, dialek Blang Di Kabupaten Gayo Lues, Kalul di Kabupaten Aceh Tamiang, dan lokop di Kecamatan Serba Jadi Kabupaten Aceh Timur. Selengkapnya

Kepercayaan

Suku Gayo beragama Islam,tetapi masih ada yang percaya terhadap praktek perdukunan.

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani dan berkebun dengan hasil utamanya kopi. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kerajinan lain yang cukup mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang Gayo, dengan motif yang khas.

Kerajaan Lingga

Kerajaan Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di [Karo]] dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

DINASTI LINGGA

1. Adi Genali Raja Lingga I di Gayo

  • Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
  • Raja Meurah Johan(pendiri Kesultanan Lamuri)
  • Meurah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan

2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo 3. Raja Lingga III-XII di Gayo 4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era 1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda) 2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Kabupaten

Tiga Kabupaten Utama Mayoritas Suku Gayo
1. Kabupaten Aceh Tengah
2. Kabupaten Bener Meriah
3. Kabupaten Gayo Lues

Sistem pemerintahan

Rumah Adat Gayo Pitu Ruang

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari :

  • Reje
  • Petue
  • Imem
  • Rayat

Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.

Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok klen (belah). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap).

Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan matapencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat matapencaharian yang rumit. Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini matapencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas.

Tarian

  • Tari Saman
  • Tari Didong
  • Tari Bines
  • Tari Guel
  • Tari Munalu
  • Tari Turun Ku Aih Aunen

Seni Budaya

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni bertutur yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian Seperti: Tari bines, Tari Guel, Tari munalu,sebuku(pepongoten),guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masam, Karna Orang Gayo kaya akan seni budaya.

Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (munentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacum oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo.

source :wikipedia.org

Minggu, 02 November 2008

Upacara Adat suku tengger

Disamping pemandangan alam yang indah Gn.Bromo juga memiliki daya tarik yang luar biasa karena tradisi masyarakat tengger yang tetap berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Upacara Kasada terkenal hingga manca negara dan selalu ramai di hadiri turis luar negeri maupun lokal. Suku Tengger berjumlah sekitar 40 ribu (1985) tinggal di lereng G.Semeru dan di sekitar kaldera Tengger. Mereka sangat dihormati karena mereka hidup jujur, tidak iri hati, dan tidak suka bertengkar. Masyarakat Tengger adalah keturunan Roro Anteng (putri raja Majapahit) dan Joko Seger (putera seorang brahmana).
Mereka sangat menjunjung tinggi persamaan, demokrasi, dan kehidupan bermasyarakat. Bahasa daerah yang digunakan Masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Jawa Tengger, yakni bahasa Jawa Kuno. Mereka tidak menggunakan tingkatan bahasa, berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai pada umumnya memiliki beberapa tingkatan.

Tengger dikenal sebagai tanah hila-hila (suci) sejak jaman Majapahit, para penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang keagamaan dari Sang Hyang Widi Wasa. Hingga kini Masyarakat masih mewarisi tradisi Hindu sejak jaman kejayaan Majapahit. Agama Hindu di Bali dan di Tengger pada dasarnya sama yaitu Hindu Dharma, tetapi Masyarakat Tengger tidak mengenal kasta, dan masih menganut tradisi yang pernah berkembang pada jaman Majapahit.

Tidak seperti halnya masyarakat Hindu di Bali, Masyarakat Tengger tidak memiliki Istana, pustaka, maupun kekayaan seni-budaya tradisional, meski memiliki beberapa obyek penting semacam lonceng perunggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing. Namun demikian mereka kaya akan kepercayaan dan upacara adat, diantaranya ialah:

Upacara Karo

Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabotpun juga baru. Makanan dan minumanpun melimpah.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.


Upacara Kapat

Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.


Upacara Kawulu

Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.


Upacara Kasanga

Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.


Upacara Kasada

Upacara ini diadakan pada saat purnama bulan Kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran.
Sekitar pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat Tengger mendaki Gn.Bromo untuk melempar Kurban (Sesaji) ke Kawah Gn.Bromo. Setelah pendeta melempar Ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.


Upacara Unan-Unan

Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan

Sabtu, 01 November 2008

Daftar marga Batak

A

Ajartambun • Akarbejadi • Ambarita • Angkat • Aritonang • Aruan

B

Bako • Banjarnahor • Banuarea • Barasa • Bagariang • Bakkara • Bangun • Barus • Barutu • Batubara • Butarbutar • Bukit • Brahmana • Bancin • Boliala

C

Capah • Cibero

D

Dalimunthe • Debataraja • Daulay • Doloksaribu • Depari

G

Ginting • Girsang • Gultom[1] • Gurning • Gurusinga • Gajah

H

Harianja • Harahap • Hasibuan • Hasugian • Hotmatua • Hutabarat • Hutagaol • Hutahaean • Hutajulu • Hutasoit • Hutapea • Hutasuhut • Hutauruk • Hutagalung

K

Kaban • Kacaribu • Kacinambun • Karokaro • Kasilan • Keloko • Kembaren • Ketaren • Kudadiri • Karo • Karosekali • Kombara

L

Limbong • Lingga • Lubis • Lumbanbatu • Lumbangaol • Lumbannahor • Lumbanpea • Lumbanraja • Lumbansiantar • Lumban • Tobing[2] • Lumbantoruan • Lumbantungkup

M

Malau • Manalu[3] • Manik[4] • Manullang • Manurung • Marbun[5] • Marpang • Matondang • Meliala • Munthe

N

Nababan • Nadapdap • Nadeak • Naibaho • Naiborhu • Nainggolan • Naipospos • Napitupulu • Nasution • Napitu • Manihuruk

P

Padang • Pakpahan • Pandia • Pandiangan • Pane • Pangaribuan • Panggabean • Panjaitan • Parapat • Pardede • Pardomuan • Pardosi • Pasaribu[6] • Perangin-angin • Pinem • Pohan • Pulungan

R

Rambe • Rajagukguk • Rangkuti • Ritonga • Rumahorbo • Rumapea • Rumasingap • Rumasondi

S

Sagala • Samosir • Saragi • Saruksuk • Sarumpaet • Sembiring • Siadari • Siagian • Siahaan • Siallagan • Siambaton • Sianipar • Sianturi • Sibabiat • Sibagariang • Sibangebange • Sibarani • Sibayang • Sibero • Siboro • Siburian • Sibuea • Sibutarbutar • Sidabalok • Sidabutar • Sidabungke • Sidahapintu • Sidauruk • Sigalingging • Sihaloho • Sihite • Sihombing • Sihotang • Sijabat • Silaban[7] • Silaen[8] • Silalahi • Silitonga • SinaBang • Simalango • Simamora • Simandalahi • Simangunsong • Simanjorang • Simanjuntak[9] • Simanungkalit • Simaremare • Simargolang • Simarmata • Simatupang • Simbolon • Simorangkir • Sinabariba • Sinaga[10] • Sinambela • Singarimbun • Sinuhaji • Sinulingga • Sinukaban • Sinukapar • Sinupayung • Sinurat • Sipahutar • Sipayung • Sirait[11] • Siregar • Siringo-ringo • Sitanggang • Sitepu • Sitindaon • Sitinjak • Sitohang • Sitompul[12] • Sitorus • Situmeang • Situmorang • Situngkir • Solia • Solin • Sormin • Sukatendal • Surbakti • Sinuraya • Silitonga

T

Tamba • Tambak • Tambun • Tambunan • Tampubolon[13] • Tanjung • Tarigan • Tarihoran • Tinambunan • Tinendung • Tobing • Togatorop • Togar • Torong • Tumangger • Tumanggor • Turnip • Turutan • Tigalingga

U

Ujung