Rabu, 02 Desember 2009

Merdang Merdem

Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah. Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.

Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.

* Hari pertama, cikor-kor.

Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah. Umumnya lokasinya di bawah pepohonan. Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.

* Hari kedua, cikurung.

Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah. Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.

* Hari ketiga, ndurung.

Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai. Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan. Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.

* Hari keempat, mantem atau motong.

Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak. Pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.

* Hari kelima, matana.

Matana artinya hari puncak perayaan. Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya. Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan. Pada saat tersebut semua penduduk bergembira. Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan. Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta. Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional. Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak. Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan. Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.

* Hari keenam, nimpa.

Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat. Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut. Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan. Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa. Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang. Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya. Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.

* Hari ketujuh, rebu.

Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya. Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan. Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya. Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai. Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu. Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta. Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung. Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.

Senin, 02 November 2009

Terang Bulan

Terang Bulan adalah lagu rakyat Indonesia. Melodi lagu ini berasal dari lagu nasional Perak, yang aslinya ditulis oleh Pierre Jean de Beranger.

Lirik

Terang bulan
Terang bulan di kali
Buaya timbul disangkalah mati
Jangan percaya mulutlah lelaki
Berani sumpah 'tapi takut mati
Jangan percaya mulutlah lelaki
Berani sumpah 'tapi takut mati

Waktu potong padi di tengah sawah
Sambil bernyanyi riuh rendah
Memotong padi semua orang
Sedari pagi sampai petang

Waktu potong padi di tengah sawah
Sambil bernyanyi riuh rendah
Bersenang hati sambil bersuka
Tolonglah kami bersama sama

Referensi

"7.3.3 Lagu Kebangsaan" from Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah Sejarah Tingkatan 5 (Buku Teks)Dewan Bahasa & Pustaka 2003

Jumat, 02 Oktober 2009

Piso Surit

Piso dalam bahasa karo sebenarnya berarti pisau dan banyak orang mengira bahwa Piso Surit merupakan nama sejenis pisau khas orang karo. Sebenarnya Piso Surit adalah nama sejenis burung yang suka bernyanyi. Kicau burung ini bila didengar secara seksama sepertinya sedang memanggil-manggil seseorang dan kedengaran sangat menyedihkan.

Tarian Piso Surit adalah tarian yang menggambarkan seorang gadis yang sedang menantikan kedatangan kekasihnya. Penantian tersebut sangat lama dan menyedihkan dan digambarkan seperti burung Piso Surit yang sedang memanggil-manggil.

Lagu Piso Surit Diciptakan Oleh Djaga Depari salah seorang tokoh masyarakat karo sekaligus komponis nasional pada masa orde lama.

Rabu, 02 September 2009

Bahasa Gayo

Bahasa Gayo (Pengucapan: Gayô) adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Gayo di Nanggroe Aceh Darussalam, yang terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kecamatan Serba Jadi di kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa Sunda-Sulawesi dari bahasa Austronesia.

Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo” itu sendiri di Indonesia. Kita tidak bisa memisahkan bahasa Gayo dengan penuturnya “urang Gayo” dan sebaliknya. Sementara orang Gayo “urang Gayo” merupakan suku asli yang mendiami Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan tanoh Gayo (tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sejarah

Bahasa-bahasa yang ada di Nusantara masuk dalam kelompok Austronesia (Merrit Ruhlen dalam Pesona Bahasa Nusantara Menjelang Abad Ke-21: 27). Sedangkan Bahasa Gayo termasuk dalam rumpun bahasa Melayo-Polinesia seperti yang disebutkan Domenyk Eades dalam bukunya A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra:

“Gayo belongs to the Malayo-Polynesian branch of the Austronesian family of languages. Malayo-Polynesian languages are spoken in Taiwan, the Philippines, mainland South-East Asia, western Indonesia…”(Eades 2005:4)

Bahasa ini (bahasa Gayo) merupakan bagian dari bahasa Melayo-Polinesia, dan dikelompokan dalam bagian Austronesia seperti yang disebutkan Merrit Ruhlen di atas. Secara khusus, masih belum diketahui kapan dan periodesasi perkembangan bahasa ini (Gayo). Yang pasti, bahasa ini ada sejak suku ini menempati daerah ini. Orang Gayo sendiri sudah menempati Aceh (Perlak dan Pase, pantai timur dan sebagian pantai utara Aceh) sejak sebelum masehi (Ibrahim, 2002:1). Untuk menelusuri sejarah awal terbentuknya dan periodesasi bahasa ini, diperlukan kajian komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu terutama linguistik historis, linguistik komparatif dan sosio-linguistik untuk mengetahui hal di atas secara pasti. "

Perkembangan bahasa ini kemudian tidak terlepas dari persebaran orang Gayo menjadi beberapa kelompok yaitu Gayo Lut (seputar danau Laut Tawar termasuk kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yaitu daerah Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah kabupaten Aceh Tengah), Gayo Lukup/Serbejadi (kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang), Gayo Lues (kabupaten Gayo Lues dan beberapa kecamatan di Aceh Tenggara), juga sebagian kecil terdapat di Aceh Selatan. Faktor ekonomi menjadi motivasi utama persebaran tersebut, seperti yang dijelaskan dalam bahasa adat Gayo, “ari kena nyanya ngenaken temas, ari kena empet ngenaken lues.” Artinya, disebabkan karena kehidupan yang kurang baik, (sehingga) berusaha untuk lebih baik, karena sempit (lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain) berusaha untuk lebih luas.” Terjadinya persebaran tersebut turut mempengaruhi penamaan-penamaan suku Gayo, variasi dialek dan kosakata yang mereka miliki. Gayo Lokop atau Serbejadi misalnya, merupakan nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul dan Gayo Lues, komunitas Gayo yang masing-masing ada di hulu sungai Tamiang, Pulo Tige (kabupaten Aceh Tamiang) dan kabupaten Gayo Lues termasuk beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Tenggara. Penamaan tersebut menggambarkan daerah hunian baru yang mereka diami. Orang-orang Gayo di kabupaten Bener Meriah masih merupakan bagian dari Gayo Lut (Takengon), yang beberapa tahun lalu, kabupaten Bener Meriah mekar dari kabupaten Aceh Tengah. Sementara, sebagian kecil komunitas Gayo di Aceh Selatan tidak menunjukan perbedaan nama seperti di tempat lain.

Variasi Dialek

Salah satu dampak dari pesebaran yang terjadi yaitu adanya variasi dialek pada bahasa Gayo. Meski demikian, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi penutur bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Pengaruh dari luar yaitu bahasa di luar bahasa Gayo turut mempengaruhi variasi dialek tersebut. Perbedaan tersebut tidak hanya pada aspek fonologi tetapi juga pada kosakata yang digunakan. Namun, untuk yang kedua (kosa kata) tidak menunjukan pengaruh yang begitu besar. Sebagai contoh, bahasa Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di Gayo Kalul, Gayo Lut, Linge dan Gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh bahasa Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih dekat ke Sumatera Utara. Kemudian, Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku tersebut lebih-lebih komunitas Gayo yang ada di kabupaten Aceh Tenggara.

Dalam hal dialek yang ada pada suku Gayo, M.J. Melalatoa membagi dialek Gayo Lut terdiri dari sub-dialek Gayo Lut dan Deret; sedangkan Bukit dan Cik merupakan sub-subdialek. Demikian pula dengan dialek Gayo Lues terdiri dari sub-dialek Gayo Lues dan Serbejadi. Sub-dialek Serbejadi sendiri meliputi sub-sub dialek Serbejadi dan Lukup (1981:53). Sementara Baihaqi Ak., dkk menyebut jumlah dialek bahasa Gayo sesuai dengan persebaran suku Gayo tadi (Gayo Lut, Deret, Gayo Lues, Lokop/Serbejadi dan Kalul). Namun demikian, dialek Gayo Lues, Gayo Lut, Gayo Lukup/Serbejadi dan Gayo Deret dapat dikatakan sama atau amat berdekatan. Di Gayo Lut sendiri terdapat dua dialek yang disana dinamakan dialek Bukit dan Cik (1981:1).

Dalam bahasa Gayo, kita juga mengenal tingkat kesopanan yang ditunjukan dengan tutur (memanggil seseorang) dengan panggilan yang berbeda. Hal tersebut menunjukan tata krama, sopan santun, rasa hormat, penghargaan dan kasih sayang. Kepada orang tua, misalnya, akan memiliki tutur yang berbeda dengan anak-anak. Dapat kita contohkan, pemakaian ko dan kam, yang keduanya berarti kamu (anda) Panggilan ko biasa digunakan dari orang tua dan/atau lebih tua kepada yang lebih muda, sebaliknya, terasa janggal atau tidak sopan bila yang muda menggunakan kata ini kepada orang yang lebih tua. Kata kam sendiri lebih sopan dibandingkan dengan ko. Selain itu, kam ini menunjukan makna jamak dan panggilan intim antara suami istri. Tambahan pula, bahasa Gayo Lut dinilai lebih sopan dan halus dibandingkan dengan bahasa Gayo lainnya.

Fungsi

Dalam pergaulan sehari-hari antar orang Gayo, bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi. Meski terdapat adanya perbedaan dialek dan kosakata dalam bahasa Gayo seperti yang disebutkan sebelumnya (Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Lokop dan Kalul), namun perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan yang berarti dalam proses komunikasi antar penutur bahasa Gayo. Perbedaan dialek dan kosakata tersebut menjadi cerminan kayanya kandungan bahasa Gayo. Kedua, bahasa ini berfungsi sebagai bahasa pengantar terutama pada periode awal penyebaran Islam dan dalam dunia pendidikan. Dapat kita lihat pada saman, didong dan beberapa sastra lisan Gayo lainnya. Dengan demikian, proses peyampaian menjadi lebih efektif dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Di kota Takengon sendiri, yang multietnis dan multikultural, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar untuk berkomunikasi. Ketiga, sebagai identitas; melalui bahasa, kita dapat mengetahui kepribadian, identitas dan budaya bangsa lain, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo. Pada akhirnya, keberadaan bahasa menjadikan penuturnya bangga akan kepemilikan bahasa yang bersangkutan. Demikian halnya bagi orang Gayo, bahasa Gayo menjadi kebanggaan tersendiri bagi para penuturnya.

Contoh Percakapan perkenalan dalam bahasa Gayo:

* Basa Gayo = Bahasa Gayo
* Geralku Sejuk = Nama saya Sejuk
* Hana këber? = Apa kabar?
* Këber jeroh = Kabar baik
* Nge ke mangan? = Sudah makan?
* Gëre ilen = Belum
* I Gayo ko taring i sihen? = Di Gayo kamu tinggal dimana?
* Aku taring i Panté Raya = Saya tinggal di Pantai Raya
* Selo gèh wè ku umahku? = Kapan dia datang ke rumah saya?
* Ama malè beluh ku Biren serloni = Ayah akan pergi ke Bireuen hari ini
* Barik selo ike ara waktu = Kapan-kapan kalau ada waktu
* Mangan mulo boh; enti kemèl-kemèl! = Makan dulu; jangan malu-malu!
* Aku malè ulak = Saya mau pulang

Bahasa Gayo “Hari Ini”

Bahasa Gayo terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Pengaruh bahasa luar turut mempengaruhi bahasa Gayo terutama dalam koleksi perbendaharaan kata-kata, misalnya dari bahasa Arab, Melayu, bahasa Batak, Aceh, Karo, Belanda, Jepang, bahasa Indonesia, dan lain-lain. Pengaruh yang dimaksud tidak terlepas dari kehadiran dan interaksi suku-suku dimaksud dengan orang Gayo. Sebagai contoh, bahasa Arab, pengaruh ini erat kaitannya saat penyebaran awal Islam ke Aceh, yang mana orang Gayo sebagai suku asli telah lebih dahulu mendiami daerah ini (Aceh). Sebagai akibatnya, pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Gayo cukup dirasakan. Selain itu, sebelum abad ke-16, sudah terdapat orang Melayu, Batak dan beberapa suku lainnya untuk mencari penghidupan di daerah ini. Selain itu, pengaruh kerje angkap (perkawinan angkap) yang ada pada masyarakat Gayo turut mempengaruhi keberadaan suku-suku ini terutama dari suku Aceh. Disamping itu, pengaruh Batak&Karo sendiri dirasakan karena kontak dagang orang Gayo-Karo di Gayo Lues, Kutacane dan Karo, Sumatera Utara. Pada saat itu, komoditi yang menjadi andalan Gayo adalah tembakau. Selain itu, juga terdapat kopi Gayo, bahkan teh redelong yang sudah merambah ke pasar Eropa. Pada abad ke-16, datang pula Karo-27 ke dataran tinggi tanoh Gayo dibawah pimpinan Leube Kader. Saat ini, mereka ada di daerah Bebesen atau dikenal dengan kerajaan Cik Bebesen. Penulis sendiri lebih menyebut Karo-27 daripada Batak-27 dengan melihat sejarah dan beberapa perbedaan antara kedua suku bangsa tersebut, dengan melihat keturunan mereka di daerah Bebesen hari ini. Namun, bukan berarti, semua masyarakat Bebesen hari ini adalah keturunan Karo 27.

Kedatangan kolonialis Belanda ke daerah ini; perjalanan ke tanoh Gayo mulai tahun 1901 (Hurgronje, 1996: XVIII), turut menambah serapan bahasa Belanda pada bahasa Gayo. Beberapa contoh misalnya, arloji, disentri, kamar, lapor, martil dan reken (Baihaqi, 1981: 34) Begitu juga halnya dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Pada umumnya, unsur serapan tersebut diterima dalam bentuk asli atau kadang-kadang mengalami variasi bunyi dalam penyesuaian dengan pengucapan wilayah penuturan (Baihaqi, 1981: 32). Dewasa ini, bahasa Indonesia sendiri menunjukkan pengaruh yang cukup besar dalam serapan bahasa Gayo. Hal tersebut sangat memungkinkan karena bahasa ini digunakan sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat Gayo.

Dari segi pemakaian bahasa, penutur bahasa Gayo mulai menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Gejala ini dapat kita lihat di kota Takengon. Takengon merupakan kota kecil yang menunjukan keberagaman etnik dan kultural; mulai dari orang Gayo sebagai mayoritas, Aceh, Jawa, Minang, Cina, Batak, Karo, Mandailing, Sunda, dan lain-lain. Tidak hanya sekarang, gambaran keberagaman (multikultul) tadi jauh sudah tercipta seperti yang penulis sebutkan di atas. Penulis melihat, ada sebuah kecenderungan untuk memakai bahasa Indonesia ketimbang bahasa Gayo dalam pergaulan sehari-hari antar penutur bahasa Gayo. Kejadian ini tidak semata terjadi di dalam keluarga, yang notabene Gayo, tetapi juga di dalam masyarakat. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, penulis melihat kerap terjadi gejala code mixing atau campur kode. Maksudnya, beberapa serpihan kata non-bahasa Gayo masuk ke dalam kalimat tersebut. Salah satu contoh menarik misalnya, please dong geh; disini kita memperhatikan, ada tiga bahasa sekaligus yaitu bahasa Inggris, Indonesia dan Gayo. kecenderungan ini umum terjadi di masyarakat Gayo dewasa ini karena pengaruh teknologi dan informasi terutama pengaruh media elektronik. Gambaran campur kode (code mixing) dan code switching (alih kode) tersebut dapat dilihat dalam penelitian sarjana penulis tentang pemakaian bahasa oleh mahasiswa Gayo yang kuliah di USU (Al Gayoni, 2006: 24-25, 27-37)

Selain faktor yang telah disebutkan di atas, pemakaian bahasa Indonesia turut mempengaruhi fenomena ini yaitu sebagai bahasa pengantar pada proses pembelajaran di sekolah, kampus, lembaga pemerintahan, kegiatan-kegiatan keagamaan, dan lain-lain. Tidak seperti bahasa daerah lain di Indonesia, bahasa Gayo sendiri kurang mendapat ruang dan tempat dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Padahal, dunia pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk mempertahankan dan membumikan bahasa daerah, begitu juga halnya dengan bahasa Gayo.

Berbeda dengan kondisi di Aceh, di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Malang, orang Gayo lebih menggunakan bahasa Gayo dalam berkomunikasi satu sama lain. Hal tersebut sebagai wujud kerinduan berbahasa Gayo, kebanggaan dan identitas mereka sebagai orang Gayo di perantauan. Akan tetapi, mereka akan beralih ke bahasa Indonesia bilamana terdapat penutur non-Gayo dalam percakapan mereka. Perubahan dari bahasa Gayo ke bahasa Indonesia (code switching) ini dilakukan sebagai wujud penghormatan, penghargaan dan toleransi mereka kepada penutur yang berlainan tersebut (Al Gayoni, 2006: 38-40)

Lebih jauh dari gambaran di atas, penulis melihat terjadi penurunan kualitas berbahasa Gayo pada generasi sekarang dan mendatang. Bisa kita lihat dari berbagai kasus code mixing (campur kode yang terjadi) pada keseharian berbahasa penutur bahasa Gayo. Pengaruh perkembangan teknologi & informasi dan bahasa di luar bahasa Gayo memiliki pengaruh yang besar akan hal ini. Dalam bidang pertanian katakanlah, dewasa ini, prosesi pertanian tempo dulu, tidak lagi kita temui. Sebagai akibatnya, generasi kita hari ini tidak lagi mengenal istilah-istilah dalam bidang di atas. Ironisnya, masyarakat Gayo terlebih pemerintah hanya diam melihat perubahan yang terjadi tanpa mengambil sebuah inisiatif, rencana dan aksi lebih lanjut. Begitu juga halnya dalam sastra lisan Gayo; melengkan, didong, syaer, dan lain-lain, alih pengalaman/generasi dari pelaku budaya sepuh tidak terjadi kepada yang muda. Sehingga ketika perginya pelaku budaya senior seperti Prof. M. Daud Ali, Prof. M.J. Melalatoa, A. R. Hakim Aman Pinan, A. R. Moese, kita kehilangan banyak dan menanti lahirnya budayawan sepuh beratus tahun lagi, karena seiring dengan pergantian waktu, budaya Gayo pun akan hilang. Penulis beranggapan, setelah generasi 60-an, budaya Gayo mulai kehilangan arah karena tidak adanya alih generasi, minimnya catatan tertulis serta sikap sebagian besar masyarakat Gayo dan pemerintah yang kurang menaruh perhatian mengenai masalah ini. Saat itu, kita akan mengalami kelangkaan prihal orang yang mengetahui tentang budaya kita sendiri sehingga kita akan bertanya dan berguru kepada orang dan bangsa lain. Disamping faktor yang telah disebutkan di atas, yang menjadi penentu bertahan atau tidaknya bahasa Gayo dan kebudayaan Gayo secara umum adalah kemauan, sikap dan langkah nyata dari masyarakat Gayo menyangkut keberadaan bahasa dan warisan adiluhung munyang datu tersebut (budaya Gayo umumnya).

Identitas Akhir Orang Gayo

Bahasa ini (bahasa Gayo) akan menjadi identitas akhir orang Gayo. Meski orang Gayo memiliki budaya yang kaya, namun warisan tersebut hanya dijadikan aksi seremonial dan pelengkap identitas pelakunya, karena pada hakekatnya mereka jauh dari keluhuran-keluhuran nilai-nilai lokal tersebut. Memang selama orang Gayo masih ada dalam kehidupan ini, kemungkinan bahasa Gayo akan tetap ada. Namun, tidak ada sebuah garansi, bahasa Gayo akan tetap bertahan, terus dipakai dan dipelihara masyarakatnya seiring perubahan zaman yang begitu cepat dan sikap dari penuturnya sendiri. Sewaktu, suku bangsa ini mulai membelakangi bahasa ini, maka hilanglah identitas dan orang Gayo itu sendiri, tinggal kita menunggu waktu.

Kita tidak mau, kekhawatiran dan mimpi buruk di atas menjadi kenyataan, bahasa Gayo akan menjadi bahasa klasik di negeri sendiri dan generasi kita mendatang tidak tahu sama sekali prihal bahasa Gayo, mereka hanya menemukan beberapa lembar kertas usang di museum, tapi sayang untuk museum saja kita juga tidak punya. Karenanya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengamil inisiatif, rencana dan langkah nyata prihal penyelamatan bahasa dan budaya Gayo, begitu juga halnya pemerhati dan pelaku budaya sendiri. Pemerhati dan pelaku budaya sendiri akan berjalan tertatih dan tidak maksimal bila tidak ada dukungan, perhatian dan penghargaan dari pemerintah seperti yang terjadi selama ini. Karenanya, kita menggantungkan harapan besar kepada pemerintah, reje yang memimpin saat ini dan masa mendatang untuk menaruh kepedulian, perhatian serta melakukan langkah nyata dan bersama menyangkut penyelamatan ini.

Minggu, 02 Agustus 2009

Surat ( Aksara ) Batak

Surat Batak adalah nama aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa Batak. Surat Batak masih berkerabat dengan aksara Nusantara lainnya.

Ciri khas

Surat Batak adalah sebuah jenis aksara yang disebut abugida, jadi merupakan sebuah perpaduan antara alfabet dan aksara suku kata. Setiap karakter telah mengandung sekaligus konsonan dan vokal dasar. Vokal dasar ini adalah bunyi /a/. Namun dengan tanda diakritis atau apa yang disebut anak ni surat dalam bahasa Batak, maka vokal ini bisa diubah-ubah.

Penggunaan

Surat Batak zaman dahulu kala digunakan untuk menulis naskah-naskah Batak yang di antaranya termasuk buku dari kulit kayu yang dilipat seperti akordeon. Dalam bahasa Batak buku tersebut dinamakan pustaha. Pustaha-pustaha ini yang ditulis oleh datu (dukun) berisikan penanggalan dan ilmu nujum.

Jenis aksara dan penyebaran

Setiap bahasa Batak memiliki varian Surat Batak sendiri-sendiri. Namun varian-varian ini tidaklah terlalu berbeda satu sama lain.

Kamis, 02 Juli 2009

Suku Pakpak

Suku Pakpak adalah salah satu anak/subsuku Batak. Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, yaitu Pakpak Kelasen, Pakpak Simsim, Pakpak Boang, Pakpak Pegagan dan Pakpak Keppas. Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2004 menjadi dua kabupaten yakni: Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang) dan Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak). Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Kelasan. Dalam jumlah yang sedikit, suku Pakpak juga bermukim di wilayah Kabupaten Aceh Singkil (ibu kota: Singkil) yang disebut sebagai Pakpak Boang. Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan.

Suku Batak Pakpak adalah sebuah sub-suku Batak yang mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan).

Salah satu marga yang digunakan suku Batak Pakpak adalah Kudadiri.

Selasa, 02 Juni 2009

Suku Toba

Suku Batak Silindung adalah bagian dari Suku Batak yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, terutama berdiam di Kabupaten Tapanuli Utara yang wilayahnya meliputi Tarutung, Sipoholon, Pahae, dan sekitarnya.

Kepercayaan



Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh para Missionaris dari Jerman yang bernama Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan)di huta Dame Balige. Sekarang ini gereja HKBP ada dimanaman di seluruh Indonesia yang jemaatnya mayoritas suku batak toba.Sebelum suku batak menganut agama kristen protestan, mereka mempunyai sistem Kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya terwujud dalam Debata Na

Menyangkut Jiwa dan roh, Suku batak mengenal tiga konsep, yaitu:

  • Tondi
  • Sahala
  • Begu

Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.Beberapa begu yang ditakuti oleh orang batak, yaitu:

  • Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan mengerikan.
  • Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat tempat tertentu
  • Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu marga
  • Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak yang terdapat dalam pustaha, yang walaupun sudah menganut agama kristen, dan berpendidikan tinggi orang batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

  • ada juga kepercayaan yang ada di tarutung ulok dohot boru hutabarat, jangan dibilang cantik sama boru hutabarat, di tarutung kalau di bilang cantik bahwa yawa wanita tersebut tidak lama lagi, menutut kepercayaan orang itu.

Sabtu, 02 Mei 2009

Suku Karo

Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku Karo enggan disebut sebagai orang Batak karena merasa berbeda. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.

Eksistensi Kerajaan Haru-Karo

Kerajaan Haru-Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Jaman ke Jaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa Lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darman Prinst, SH :2004)

Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,yaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya. (D.Prinst, SH: 2004)

Terdapat suku Karo di Aceh Besaryang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.

[sunting] Wilayah Suku Karo

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:

Kabupaten Tanah Karo

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau "Taneh Karo Simalem".

Kota Medan

Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.

Kota Binjai

Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari kota Medan sebagai Ibu kota provinsi Sumatera Utara.

Kabupaten Dairi

Wilayah kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian kabupaten Dairi yang merupakan Taneh Karo:

  • Kecamatan Taneh Pinem
  • Kecamatan Tiga Lingga

Kabupaten Deli Serdang

Sebagian kabupaten Deli Serdang yang merupakan Taneh Karo:

  • Kecamatan Lubuk Pakam
  • Kecamatan Bangun Purba
  • Kecamatan Galang
  • Kecamatan Gunung Meriah
  • Kecamatan Sibolangit
  • Kecamatan Pancur Batu
  • Kecamatan Namo Rambe
  • Kecamatan Sunggal
  • Kecamatan Kuta Limbaru
  • Kecamatan STM Hilir
  • Kecamatan Hamparan Perak
  • Kecamatan Tanjung Morawa
  • Kecamatan Sibiru-biru

Kabupaten Langkat

Taneh Karo di kabupaten Langkat meliputi:

  • Kecamatan Selesai
  • Kecamatan Kuala
  • Kecamatan Salapian
  • Kecamatan Bahorok
  • Kecamatan Pd.Tualang (Batang Serangan)
  • Kecamatan Sungai Bingai
  • Kecamatan Stabat

Kabupaten Aceh Tenggara

Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:

  • Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
  • Kecamatan Simpang Simadam

Marga

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:
  1. Karo-karo
  2. Tarigan
  3. Ginting
  4. Sembiring
  5. Perangin-angin


Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah diantara mereka.

Rakut Sitelu

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:

  1. kalimbubu
  2. anak beru
  3. senina


Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti.

Tutur Siwaluh

Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:

  1. puang kalimbubu
  2. kalimbubu
  3. senina
  4. sembuyak
  5. senina sipemeren
  6. senina sepengalon/sedalanen
  7. anak beru
  8. anak beru menteri


Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:

  1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
  2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
    • Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
    • Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.
    • Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
  3. Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
  4. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
  5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
  6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
  7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:
    • anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
    • Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
  8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

[sunting] Aksara

Aksara Karo

Aksara Karo

Aksara Karo ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.

Tari tradisional

Suku Karo mempunyai beberapa tari tradisional, di antaranya:

  • Piso Surit
  • Lima Serangke
  • Terang Bulan

Kegiatan Budaya

  • Merdang merdem atau kerja tahun
  • Gendang guro-guro aron

Kamis, 02 April 2009

Suku Kluet

Suku Kluet mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan kecamatan Kluet Timur. Suku Kluet mayoritas beragama Islam. Daerah Kluet ini dipisahkan oleh sungai Lawé Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Wilayah kediaman orang Kluet ini terletak di pedalaman berjarak 20 km dari jalan raya, 50 km dari kota Tapak Tuan atau 500 km dari Banda Aceh. Bahasa Kluet terbagi atas 3 dialek yaitu Dialek Paya Dapur, Manggamat dan Krueng Kluet. Mata pencahariannya umumnya adalah bertani, berladang dan berkebun.

Senin, 02 Maret 2009

Suku Alas

Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu diantaranya adalah Lawe Alas( Sungai Alas).

Bahasa Alas mirip dengan bahasa Batak (Karo, Tapanuli, dan Fak Fak). Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.

Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.

Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktek perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.

Senin, 02 Februari 2009

Bahasa Angkola-Mandailing

Bahasa Batak Angkola adalah bahasa yang paling mirip dengan bahasa Batak Toba, disamping letak geografis yang berdekatan bahasa Angkola sedikit lebih lembut intonasinya daripada bahasa Toba. Bahasa Batak Angkola meliputi daerah Padangsidempuan, Batang Toru, Sipirok, seluruh bagian kabupaten Tapanuli Selatan.

Bahasa Mandailing, merupakan rumpun bahasa Batak, dengan pengucapan yang lebih lembut lagi dari bahasa Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba. Mayoritas penggunaannya di daerah Kabupaten Mandailing-Natal tapi tidak termasuk bahasa Natal.

Kamis, 01 Januari 2009

Bahasa Alas

Bahasa Alas adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan di provinsi Sumatra Utara dan Aceh oleh sukubangsa Alas.

Bahasa ini termasuk rumpun bahasa Batak dari cabang utara, bersama dengan bahasa Karo.yang memang adat istiadatnya juga sama dengan daerah samosir keras dan tegas .kadang orang alas sendiri banyak yang tidak memahami tentang sejarah sukunya sendiri oleh sebab dikarenakan ,dulunya persoalan agama sehingga ada upaya penghilangan jejak asal suku alas tersebut.